Pada pembahasan “The Schrodinger Cat” sebelumnya, yaitu bahasan filsafat mendalam ilmu fisika, kita dapati hasil dari pemikiran mendalam filosofis atau filsafat pada dataran permasalahan dunia, adalah penemuan atau “discovery”. Ditemukannya tabel periodik, partikel pada level kuantum, komputer kuantum, kalkulator, robot, AI, dan banyak lagi yang lainnya.
Dari eksperimen pikiran tersebut, didapati adanya output yaitu dua realita, dua kenyataan, paralel-isme sampai pada level kuantum, persamaan Schrodinger yang harusnya konsisten (exact) namun didapati tidak konsisten, kemudian perbedaan bagaimana rumus tersebut bekerja, perbedaan tafsir atas hipotesis tersebut, adanya paradox yang absurd, multiverse (multiversi), Interprestasi Copenhagen, thesis “Many World Interpretation”, superposisi realitas yang terpecah menjadi dua, quantum decoherence, quantum entalgelment, spooky action in distange, EPR Paradox, dimana jika detail didefinisikan sampai kelevel kuantum ilmuwan justru dibuat sakit kepala, perseteruan Niels Bohr dan Einstein, urcentainly prinsiple (prinsip ketidakpastian), kekecewaan Einstein bahwa fisika bukanlah ilmu pasti (exact), melainkan ilmu pendekatan presisi (predict), hanya ilmu teori teori perhitungan yang mendekati, bukan perhitungan pasti. Percobaan “double slit experiment” juga membuktikan bahwa sampai level partikel yang seharusnya tidak bisa dipecah lagi, ternyata satuan terdefinitif masih terbagi lagi menjadi pecahan yang acak, random (chaos), didapati adanya meassurement problem (problem didalam pengukuran).
Inilah yang dialami para ilmuan fisika, dimana semua pemikiran dan perhitungan mereka hanyalah “mentok” sampai pada level teori pengukuran yang mendekati, bukanlah ilmu yang pasti. Kita ketahui, sampai detik ini ilmu fisika masih terus berkembang, masih terus dilakukan pengembangan mencari rumus perhitungan perhitungan yang lebih mendekati pasti, karena hari ini fisika hanya masih berupa teori teori pendekatan.
Selain Erwin Schrodinger, pada persamaan schrodingernya, didapati chaos juga terjadi pada rumus persamaan gravitasinya Isaac Newton, dimana didalam teori gravitasi bumi, bulan, matahari, planet, dan tata surya, dia hanya mendapati hasil revolusi tata surya yang berharmonisasi, jika gravitasi dihitung antara dua benda, misal : bumi dan bulan, bumi dan matahari, adapun ketika rumus gravitasi dipakai menghitung lebih dari dua benda, menghitung bumi, matahari, bulan dan beberapa benda lainnya, maka hasilnya adalah “chaos”, alias tidak teratur, lintasan orbit planet, bulan matahari dan tata surya malah berantakan, chaos, acak, saling bertabrakan dan hancur (namun kenyataannya tidak).
Kemudian ditemui juga oleh Albert Einstein didalam teori relativitasnya, dimana semua ini relatif (prediktif) bukan pasti (bukan exact), perhitungan kecepatan/percepatan adalah relatif, kecepatan cahaya relatif, pada level kuantum ditemui bahwa partikel memiliki kecepatan yang jauh lebih cepat dari cahaya, kelengkungan ruang dan waktu membuat semua relatif, perhitungan pendekatan hanya terbatas pada ruang 3 dimensi, dimana alam semesta ini didapati 5 dimensi. Perhitungan gravitasi yang berlawanan dengan perhitungan massa berat jenis, adanya medan tak kasat mata berupa elekromagnetis, dll. Ini juga terjadi di teori geosentris, dan heliosentris, kemudian berlawanannya hasil perhitungan dari gaya sentrifugal, dan sentripetal, adanya stellar paradox, dll.
Semua relatif, relativitas, semua masih berupa probabiliti, probabilitas, misal : sesederhana kita tidak bisa memperhitungkan dengan pasti berapa angka dadu yang keluar ketika dadu dilempar (akan random / “chaos”), melainkan hanya didapati kemungkinannya, pendekatannya, probabilitinya (teori probabilitas). Semua perhitungan tidak bisa menghasilkan hasil yang pasti, melainkan hanya pada level presisi atau pendekatannya, atau hasil paling mendekati riil.
Inilah sebabnya pada ujung penelitiannya, semua ilmuan menemukan “chaos” pada temuannya, adanya “Many Interpretation”. Dimana salah satunya yaitu misal Albert Einstein yang sangat kecewa, karena Ilmu Fisika ternyata bukanlah ilmu yang pasti, melainkan ilmu perkiraan, prediksi.
Inilah sedehananya, yang disebut “Chaos Theory”, atau Teori kekacauan. Didalam ilmu matematika dan fisika yang berhadapan dengan sifat dari sistem dinamika taklinear tertentu yang menunjukkan fenomena yang dikenal sebagai kekacauan, terkenal dengan sifat sensitivitas pada/dari kondisi awal.
_____
Sebuah kalimat fenomenal keluar dari mulut para filsuf dibidang fisika (fisikawan) :
* Albert Einstein : “Tuhan tidak mungkin sedang bermain dadu” maksudnya, segala sesuatu tentu bisa diperhitungkan, tidak mungkin tidak bisa diperhitungkan. Ucapan ini dibalas oleh
* Niels Bohr dengan kalimat : “Stop, mengajari Tuhan apa yang dilakukannya” maksudnya, terima saja bahwa ilmu pengetahuan (manusia) itu terbatas, dunia itu tidak sebatas materi, melainkan ada sesuatu selain materi, alias submaterial (ghaib), ada sesuatu yang mengatur yang tidak bisa diatur.
Kemudian
* Issac Newton juga pada kesempatan lain berkata : “Saya seperti anak laki-laki yang bermain di pantai laut, dan mengalihkan diri saya sekarang dan kemudian menemukan (ilmu pengetahuan yang diketahuinya) kerikil yang lebih halus atau cangkang yang lebih cantik daripada biasanya, sementara lautan (ilmu pengetahuan yang tidak diketahuinya) besar terbentang di hadapan saya”.
* Isaac Newton : “Ateisme sangat tidak masuk akal. Ketika saya melihat tata surya, saya melihat bumi pada jarak yang tepat dari matahari untuk menerima jumlah panas dan cahaya yang tepat. Ini tidak terjadi secara kebetulan (ada sesuatu yang mengatur ini semua)”.
Kemudian
* Albert Einstein juga mengatakan dengan penuh keyakinan bahwa “ilmu tanpa agama adalah buta, sedangkan agama tanpa ilmu adalah lumpuh”.
Hal ini dapat diartikan bahwa orang orang berilmu tetapi tidak punya pedoman agama maka ia akan berjalan tanpa arah. Sedangkan agama tanpa ilmu, lumpuh artinya bahwa agama tanpa ilmu pengetahuan tidak akan membawa kemajuan peradaban.
_
Seorang rekan saya, yaitu seorang dosen ilmu filsafat juga mengatakan : “Kalau seseorang mempelajari filsafat hanya sedikit akan membawa seseorang kepada atheisme (tidak mempercayai keberadaan Entitas Ketuhanan), namun jika seseorang mempelajari filsafat secara mendalam sebaliknya akan membawa kepada theisme (mempercayai keberadaan Entitas Ketuhanan).
*************************
Namun apa hendak dikatakan, dimana hidayah, tentu hanya ditangan Allah. Socrates, Plato, Aristoteles, Erwin Schodinger, Everett Hugh, Albert Einstein, Niels Bohr, Isaac Newton, orang orang jenius dibidang fisika, dibidang filsafat perhitungan, tidak mendapati hidayah (Islam) sampai akhir hayatnya. Bahkan ilmuan besar seperti Ibnu Sina (Syiah), orang orang super cerdas seperti Wasil Bin Atta (Mu’tazillah), Abu Hasan Al Asyari (Asyariyah) Al Maturidi (Maturidiyah), diketahui menyimpang dalam perkara agama (aqidah), dan banyak lagi yang tokoh tokoh lainnya. Karena, sungguhlah berbahaya jika filsafat tidak dipelajari secara sangat mendalam, apalagi sampai masuk kedalam ranah agama yang dipahami hanya sepotong sepotong.
Silahkan berfikir dengan kritis, filosofis, filsafat untuk urusan urusan dunia, dimana ouputnya adalah ilmu pengetahuan, penemuan, dan perkembangan dan kemajuan peradaban dunia. Adapun jangan berfikir kritis, filosofis, filsafat, perihal perihal syariat, kenapa subuh 2 rakaat, kenapa hajar aswad dicium, kenapa adzan, kenapa iqomat, karena sudah pasti akan tersesat. Dimana ilmu syariat adalah untuk diimani, bukan untuk dipikirkan.
Bersyukurlah jika seandainya kita termasuk yang Allah kehendaki diberikan hidayah, diberikan keimanan, diberikan pemahaman yang lurus tidak tersesat. Dimana wajib bagi kita menjaga hidayah ini, bukan dengan menggenggamnya dengan tangan, bukan dengan memeluknya, melainkan menggigitnya dengan gigi geraham. Karena, hidayah yang telah datang ini bisa dengan sangat cepat pergi meninggalkan kita, apabila kita tidak mensyukuri dan menjaga hidayah tersebut.
..Wallahu a’lam..