Menanggapi permasalahan yang dialami sebagian saudara-saudara kita Kaum Muslimin di Palestina, kita dapati kumpulan Cendikiawan Muslim Indonesia mengeluarkan fatwa (pendapat / rekomendasi) langkah yang sebaiknya diambil untuk menyikapi kisruh Palestina. Lantas apakah fatwa ini wajib kita ikuti, atau seperti apa memahaminya, akan kita bahas secara singkat pada kesempatan kali ini.
********
Pertama tama :
Kita ketahui, bahwa ada kategori kelompok orang-orang tertentu, kapabilitas ilmu tertentu, untuk mengeluarkan fatwa, dimana yang berhak untuk berfatwa yaitu seorang Alim (tunggal) atau Ulama (Jamak), dimana Alim Ulama ini wajiblah memiliki kapabilitas ilmu yang mumpuni untuk berfatwa (mengeluarkan pendapatnya / mengeluarkan rekomendasinya), dan bukan hak dari setiap orang untuk berfatwa.
Kedua :
Kategori Alim Ulama pernah dibahas di artikel sebelumnya, yaitu yang memiliki pemahaman akan setidaknya 18 keilmuan perihal Agama ( bisa dibaca di https://menitijalanlurus.com/apa-itu-ulama ) adapun belum sampai pada level ini, maka seseorang belumlah dikategorikan Alim, Ulama, juga belumlah berhak mengeluarkan Fatwa.
Ketiga :
Menyadur dari kategori disebutkan diatas, maka sebagaimana Dalil menyebutkan bahwa ada zaman dimana penuh dengan Ulama, hampir setiap Muslim paham agama, Alim, Ulama, yaitu zaman Para Sahabat, seiring waktu Ulama akan diwafatkan satu persatu dan kemudian Ulama itu jarang, bahkan tidak ada, dimana pada saat ini orang orang bodoh (belum sampai pada keilmuan agama yang cukup) tampil bagai Ulama, orang orang seperti ini bodoh, sesat, dan kemudian menyesatkan banyak orang.
Menyadur dari kategori disebutkan diatas, di Indonesia khususnya orang dengan level Ulama ada pada diri Al Ustadz Hasyim Asy'ari, Al Ustadz Ahmad Dahlan, ada pada diri Muhammad Abdullah Al Minangkabawi, ada pada diri Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, beberapa riwayat jika ini benar maka ada pada diri Sunan Ampel, Kalijaga, Bonang, Drajat Rahimakumullah, semoga Allah merahmati mereka semua. Merekalah yang sampai pada ketinggian dan keluasan ilmu agama sebagai Alim Ulama, adapun setelah mereka, satu persatu wafat, dan tidak ada lagi yang pemahaman ilmunya menyetarai mereka, belum ada lagi tampil orang-orang yang benar pada level Ulama, melainkan mungkin hanya panggilannya saja yang “Ulama” padahal belum sampai mereka pada derajat itu, dimana tentunya mereka mereka ini belumlah sampai pada level bisa berfatwa, mengeluarkan pendapat / rekomendasi dalam rangka agama untuk umahat.
Keempat :
Dengan demikian maka Fatwa yang ada ini, Fatwa yang dikeluarkan ini, apabila bukan dikeluarkan oleh pihak yang benar berhak untuk mengeluarkan fatwa. Sebagaimana fatwa kita ambil hanya dari orang orang yang benar-benar mumpuni dan berhak berfatwa.
Kelima :
Kita kembalikan lagi Agama ini kepada Allah dan RasulNya, kepada tuntunan Al Quran dan Sunnah, jika tidak ada maka kita mengunggu Fatwa Ulama. Namun, perlu diketahui Fatwa Ulama siapapun tidak berlaku, akan otomatis gugur apabila kita dapati menyelisihi dari petunjuk Allah dan Rasulnya.
___
Lantas, kita lihat, fatwa ini dikeluarkan oleh siapa? Ternyata, yang mengeluarkan ini adalah sebuah Majelis besar, Ormas besar, Ormas Masyur, namun apakah benar didalamnya orang-orang yang benar-benar berkompeten untuk mengeluarkan fatwa? ternyata kita dapati, belum.
Lantas, darimana belum? Dari sekian banyak fatwa sebelumnya yang kita saksikan juga keliru, bahkan menyelisihi Allah dan Rasulnya, beberapa diantaranya saya coba sebutkan bagaimana fatwanya menghalalkan cukur jenggot, memelihara jenggot saja tidak dilakukan, pakaian mereka yang masih Isbal namun mereka merasa tidak apa apa kalau tidak sombong, padahal isbal itulah kesombongan, mereka membolehkan beberapa model transaksi riba, ghoror, maisir, saham, kemudian membolehkan beberapa ritual bid’ah, membolehkan syariat ini dicampur dengan tradisi dll, tentu ini track record yang cukup untuk kita tau bahwa yang demikian belumlah cukup mumpuni untuk berfatwa, dan kita ikut kepada fatwanya. Bagaimana mau ikut ketika fatwa demi fatwa banyak yang justru menyalahi Allah dan Rasulnya.
Lantas darimana belum? Kita saksikan Dalil, dimana Nabi shallallahu alaihi wasallam bemuamalah, bertransaksi dengan Yahudi, menggadai baju besi dan sebagainya dalam rangka muamalah, bagaimana mungkin kita tinggalkan Dalil ini demi fatwa seseorang atau kelompok orang yang malah menyelisihi pemahaman Nabi shallallahu alaihi wasallam, demi fatwa boikot Yahudi.
Betul pada saat konteks perang, kita bunuh, kita bantai, kita musnahkan musuh-musuh Allah, namun pada konteks lain, pada konteks muamalah, bertetangga, ini lain lagi, dimana bahkan kita diperbolehkan bertransaksi jual beli / gadai / dengan mereka.
Dalam ilmu Fiqh, wajiblah Dalil dimasukkan untuk dijadikan landasan sebelum diturunkan menjadi sebuah hukum, didalam ilmu Fiqh tidak boleh emosi, ego, suasana hati, dendam, dimasukkan untuk diturunkan menjadi sebuah pemahaman (Boikot), apalagi dengan malah mengesampikan Dalil (Nabi shallallahu alaihi wasallam contohkan bermuamalah dengan Yahudi).
Didalam ilmu Fiqh, sebelum pemahaman diturunkan dan dikeluarkan sebagai Fatwa, tetaplah wajib mempertimbangkan semua sisi. Apakah sudah dipikirkan jika kita boikot perusahaan Yahudi (produk tidak saya sebutkan disini), bahwa yang kerja disana adalah anak-anak kita juga, keluarga kita, saudara kita, tetangga kita. Apakah sudah dipikirkan bagaimana kalau sebaliknya mereka memboikot kita, memecat, mem-PHK, mengurangi karyawan, dan anak saudara tetangga kita jadi penggangguran, apa tidak ini mudharat besar, apa sudah kita siapkan lapangan pekerjaan untuk mereka, kenapa kita boikot mereka yang mana kita muamalah juga disana?
Tentu lebih panjang lagi
Jika mau saya bahas semuanya.
********
Saya lanjutkan, fatwa ini dikeluarkan oleh mereka, tentu saya berhusnuzon karena niat baik, karena bentuk tanggung jawab dari sebuah Majelis besar, Ormas besar. Namun, niat baik belum tentu benar, adapun niat benar dengan cara yang benar pula, maka ini sudah pasti baik.
Saya lanjutkan, Majelis besar ini, Ormas besar ini, bukanlah perwakilan dari Ulil Amri, bukanlah perwakilan dari Pemerintah resmi, adapun Majelis Agama, Ormas Agama yang rekomendasinya dipakai oleh pemerintah.
Saya lanjutkan, mau Majelis besar, Ormas besar, mau Ulil Amri, Pemerintah yang sah sekalipun, jika memerintahkan kepada kita untuk memahami dan melakukan sesuatu tetapi menyelisihi Allah dan Rasulnya tentu tidak harus kita ikuti.
Saya lanjutkan, diperintahkan kepada kita untuk menyelisihi Allah dan Rasulnya saja jangan, apalagi ini hanya berbentuk rekomendasi, saran (Fatwa), ini bukan perintah Ulil Amri, dan ini juga bukan Fatwa yang wajib kita ikuti.
Akan ada tulisan lebih panjang lagi
Jika saya bahas semua disini.
********
Adapun bagaimana sikap kita, kita cukupkanlah perkara yang sudah diatur, sudah ada tuntunannya, contohnya, caranya, oleh Allah dan Rasulnya. Tidak perlu ikut kepada pemikiran baru, pemahaman baru, langkah baru. Tidak pula wajib ikut kepada fatwa, saran, rekomendasi, apalagi yang menyelisihi Allah dan Rasulnya.
Adapun yang tepat, tentu kita berdoa dalam lisan kita kepada Allah, kita ikhtiarkan pula dalam perbuatan kita untuk peduli, memikirkan, menolong, saudara-saudara kita Muslimin Ahlusunnah disana (Note : sebagian lain tidak Ahlusunnah melainkan ada juga Ahli Bid’ah). Kita tunjukkan empati kita, simpati kita, kepedulian kita, kita bantu dengan pertolongan yang kita mampu, uang, waktu, pikiran, tenaga, materi, nasihat, dll. Kita hindari makan-makan enak, foya-foya, boros-boros belanja, muamalah-muamalah yang tidak perlu (saya tidak perlu sebutkan merekanya) tetapi jangan haramkan yang Allah dan RasulNya halalkan, jangan buat saudara-saudara kita disini resign, nganggur, dari muamalah-muamalah mereka yang sebenarnya halal, namun karena hawa nafsu, malah kok jadi kita haramkan. “Boikot”
Mungkin tulisan ini kurang panjang,
Namun, ini versi singkatnya,
Semoga bisa difahami.
..Wallahu a’lam..