From Trash To Treasure
Di salah satu penjara di bagian New England, para napi sudah sangat muak makan dengan menu lobster. Di pinggiran pantai New England, lobster ada di mana-mana, mereka bahkan bisa menyapu pantai yang penuh dengan lobster. Mereka menyebutnya “Kecoa Laut”, hewan yang murah dan mudah ditemui, yang di dalam tempurung kepalanya ada kotoran, serta hewan yang termasuk jorok.
Sampailah pada zaman di mana transportasi kereta dan teknologi pembekuan ditemukan, lobster bisa sampai dengan cepat dan segar ke permukiman tengah pulau, di mana kaum elite urban tinggal, informasi yang sampai dan mereka percayai bahwa lobster adalah makanan yang eksklusif dan mahal. Disajikan hanya dengan topping mentega saja, harganya bisa mencapai $80 pada waktu itu, padahal harga aslinya tidak lebih dari $1 per keranjang.
Inilah kisah, “from trash to treasure” dari sesuatu yang sebenarnya tidak berharga, menjadi seakan bernilai mahal, karena dibungkus dengan kemasan yang baru. Kisah yang sama terjadi pada sarden, mi ramen, pada batu berlian (diamond), termasuk batu akik (bacan), serta beberapa contoh lainnya.
_______
Fenomena ini terjadi juga di lingkup agama, orang-orang lemah dan payah yang tidak memiliki skill apa pun kecuali menjual agama, mereka “membungkus” agama dengan kemasan-kemasan baru, yang kemudian menarik, banyak dinikmati, nyaman, dan terasa seakan ini baik, padahal buruk.
Orang-orang yang paham tentang ini, tentu tahu betul, bahwa agama ini bisa dibungkus dengan berbagai sampul atau judul cerita agar menarik. Membungkusnya dengan konser, dengan musik, dengan dangdut, dibumbui tips-tips pacaran atau percintaan, kajian eksklusif di hotel yang dingin, di ballroom mewah, tentunya berbayar HTM mahal, dibungkus dengan cerita silsilah keluarga, dibungkus istilah syar’i, dibungkus gelar-gelar keahlian, gelar-gelar tinggi, padahal mereka hanya marbot di pondok para santri, sekadar di-remix dengan tren-tren terkini misalkan “SKENA” atau “KALCER”, padahal yang demikian (dalam rangka agama) tidak dipahami, tidak pula dilakukan oleh Rasul dan Para Sahabatnya.
Tentu untuk orang-orang yang awam agama, hal seperti ini terkesan seakan menyenangkan, dianggap halal dan benar. Padahal tentu saja yang demikian ini buruk, ternyata di dalam bungkusan agama yang membahas kepentingan akhirat yang kekal, ada motif bisnis yang sangat murah yaitu kepentingan dunia yang sementara.
_______
Sama seperti lobster, orang-orang yang “murah”, membungkus diri mereka dengan kemasan baru agar terkesan mahal.
Namun berbeda dengan lobster, namun berbeda dengan orang-orang yang “murahan” itu. Agama ini sudah pada versi yang amat mahal, “the latest update”, “the newest version”, Islam itu sendiri sudah sempurna, penyempurna dari ajaran-ajaran dan pemahaman-pemahaman spiritual sebelumnya. Agama ini sangat amat tidak butuh diberi bungkusan baru, diperbaharui, dimodifikasi, ataupun diberi penambahan bumbu.
Justru orang-orang “murah” yang melakukan hal demikian, malah akan menurunkan kualitas isi dan inti dari Islam itu sendiri, mungkin banyak dari sisi kuantitas jemaah, namun membuat Islam menjadi “murah”, Islam seakan menjadi agama yang salah dipahami. Padahal, Islam adalah kebenaran itu sendiri, Islam tidak akan pernah salah, adapun Kaum Muslimin-lah yang salah, apabila mengotak-atik Islam, yang salah memahami tentang Islam.
..Wallahu a’lam..