Hijriyah
Kisaran 1-2 hari ini, 1447 tahun yang lalu, Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam (dan Para Sahabat Muhajirin) melakukan hijrah ke Madinah, setelah 13 tahun mendakwahkan Tauhid.
Salah satu momen diketahui, yaitu Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam memulai (serius) mendakwahkan perihal Fiqh, tata cara ibadah, shalat, tentang perintah, tentang larangan, haramnya khamr, riba, dan sebagainya.
Kisaran 1-2 hari ini, 1447 tahun yang lalu, Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam mulai “menduetkan” Para Sahabatnya, 1 dari Muhajir dan 1 dari Anshar, beliau mencampur Para Sahabatnya yang “senior” dan Sahabatnya yang “junior”.
Salah satu kisah diketahui, di mana Abdurrahman bin Auf Radhiallahu Anhu (Sahabat senior) diduetkan dengan Sa’ad bin Rabi Radhiallahu Anhu (Sahabat junior) yang kemudian diberi pilihan istri. Namun Abdurrahman hanya bertanya, “Di mana pasar?”
Kisaran 1-2 hari ini, 1447 tahun yang lalu, Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam dan Para Sahabatnya tidak melakukan perayaan apa pun terkait momen hijrah ini. Bahkan tahun-tahun setelahnya di Madinah, tidak pernah kita dapati mereka merayakan (setiap) tanggal 1 Muharam. Adapun Umar Radhiallahu Anhu yang memulai pemakaian sistem penanggalan hijriah ini secara resmi (hanya) untuk perihal administratif, belasan tahun kemudian, namun bukan untuk dirayakan.
Salah satu kisah kita dapati, malah hal ini kaum Syiah-lah yang pertama kali “merayakan” Tahun Baru Islam ini dengan fokus utama yaitu 10 hari pertama mengenang mati syahidnya Imam Husein, berisi pawai duka (melukai diri) dan puisi-puisi kesedihan mengenang kematian.
Mungkin kita lanjutkan dengan beberapa kisah lain, yaitu kita dapati “perayaan” Tahun Baru Islam dilakukan bukan oleh Para Sahabat, Para Salaf, dan bukan generasi Salafush Shalih.
Malah dilakukan di Turki, dengan ibadah doa bersama dan perayaan makan-makan. Malah dilakukan di Pakistan dan India, dengan ritual doa awal tahun. Malah dilakukan di Malaysia, Brunei dengan ritual pawai hijrah, lomba-lomba ceramah. Malah dilakukan di Indonesia, dengan pawai obor, doa akhir tahun, doa awal tahun, malam 1 Suro (Jawa), kenduri 1 Muharam (Sumatra), dan sebagainya.
Malah beberapa yang paling mendunia, kita dapati datang dari wilayah Timur Tengah, terutama Mesir atau negara-negara Islam yang awalnya terafiliasi dengan pemahaman Asy’ariah (Azhari) namun terpapar paham liberal dan modernisme, yang terinspirasi (tasyabuh) dari kaum Nasrani dan Yahudi yang merayakan Tahun Baru Masehi, sehingga sebagian kalangan merasa Tahun Baru Islam juga seharusnya dirayakan. Tradisi baru ini dilanjutkan oleh negara-negara tetangga semisal UEA, Qatar, dengan pesta kembang api, hura-hura hedonik, dan sebagainya.
Tidak ketinggalan, malah belakangan kini di Arab Saudi pun yang sebagiannya sudah terjebak paham industrialisme, alasan faktor ekonomi, atau faktor pariwisata modern, juga melakukan perayaan serupa di beberapa kota, misal Riyadh, Jeddah. Namun kita syukuri, alhamdulillah, pemerintah Arab Saudi masih menjaga kesucian kota Mekkah dan Madinah.
*************************
Dari (sedikit) paparan di atas, berikut (sedikit) fawaid, hikmah, yang bisa kita petik dari momen “Tahun Baru Islam” ini.
1. Sibuklah dengan Tauhid
Tahun baru ini sejatinya mengingatkan kita untuk menyibukkan diri dengan Tauhid. Teruslah mempelajari dan memahami Tauhid sebagai akar dalam beragama. Jangan bosan, jangan berhenti, jangan merasa cukup, karena Nabi dan Para Sahabat mendakwahkan dan mempelajari selama 13 tahun dan tidak berhenti, barulah menambahnya secara proporsional dengan bahasan Fiqh, halal-haram, dan lainnya.
Dari sini kita tahu bahwa terlalu sibuk perkara Fiqh (apalagi Fiqh kontemporer), sibuk perkara ibadah sunnah (saja), sibuk perkara sirah nabawiyah (saja), sibuk perkara rumah tangga/percintaan (saja), sibuk perkara motivasi bisnis syariah (saja), apalagi mengkaji ini dengan berbayar di hotel, di vila, di saat bersamaan bahasan tentang Tauhid sudah jarang dibahas, tentu yang demikian ini bukanlah atau tidak dilakukan oleh Salafush Shalih.
2. Berkumpulah Dengan Orang Shalih
Tahun baru ini sejatinya mengingatkan kita untuk berkumpul/bermajelis dengan orang-orang shalih, dengan definisi shalih yang shahih, yaitu yang beradab, yang berakhlak, yang beraqidah shahihah, yang bermanhaj salaf. Tidak masalah senior bergaul dengan juniornya, tidak masalah junior bercengkrama dengan seniornya. Tidak ada sekat antara yang senior (tua) dan junior (muda), tidak ada pemisah antara kaya (berbayar) dan yang miskin (gratis). Note: Adapun mereka dipisahkan berdasarkan kesungguhan ketika belajar dan ketaqwaannya.
Dari sini kita tahu bahwa seorang Salafush Shalih membuktikan sanggup jika harus meninggalkan istrinya, hartanya, kekayaannya, melakukan hijrah (naik kelas), sebagai representasi Tauhid dan keimanannya.
Dari sini kita tahu bahwa seorang Salafush Shalih (bahkan yang masih junior) membuktikan memiliki kedermawanan tingkat tinggi, bukan sekadar memberikan sebagian uang atau harta, bahkan istrinya pun siap untuk disedekahkan.
3. Tidak Merayakannya (Tahun Baru)
Tahun baru ini tidak untuk dirayakan, apalagi perayaan tahun baru ini sesungguhnya tidak lain mengikuti tradisi kaum kafir. Sebagian dari kita mungkin mengatakan bahwa “ini tradisi”, “ini budaya”, “ini bukan ibadah” maka tidak berdosa, tidak apa-apa. Mungkin mereka yang seperti ini perlu memperbanyak literasi, bahwa tasyabuh adalah haram.
Kemudian bahwa jika budaya, tradisi, yang dicampur doa di situ, ritual keagamaan di situ, motif agama di situ, maka akan menjadi ibadah, dan ini masuk kepada ibadah baru yang tidak ada tuntunannya dari Rasul dan Para Sahabat.
Kemudian bahwa jika seandainya ini adalah muamalah, tradisi, atau budaya, bahkan hal ini pun juga tidak dicontohkan oleh Rasul dan Para Sahabat sebagai tradisi atau budaya.
Dari sini pula kita tahu bahwa yang merayakan justru datang dari kaum Syiah, sebagian kalangan Asy’ari, atau aliran lain yang terpapar paham liberal moderat, paham industrialis, atau kalangan-kalangan tradisional setempat yang melakukan perayaan ini dan condong dengan ritual-ritual kesyirikan.
Bagi yang sudah dengan tulus dan jujur dalam belajar, kita akan dapati ada sebuah kaidah Fiqh yang sangat dasar yang tentu berdasarkan dalil QS: An-Najm: 38, yang salah satu fawaid dan juga tafsir dipahami bahwa:
“Jika sesuatu (dalam rangka agama) itu baik, maka (Rasul dan) Para Sahabat pasti mendahului kita (dalam melakukannya).”
Bagi yang benar tulus dan jujur dalam belajar, kita tentu ketahui ada sebuah mafhum yang dipahami bahwa:
“Jika kita melakukan sesuatu (yang baru dalam rangka agama), maka sama saja seperti kita menganggap Rasul dan Para Sahabat tidak lebih baik dari kita (dalam urusan beragama).”
**********************
Sedikit lagi, mungkin juga perlu sekalian diingatkan bahwa hanya ada 2 (dua) hari raya. Dipahami jamak dari riwayat lain disebutkan hanya ada 3 (tiga) hari raya, yaitu:
Silakan bergembira ria, merayakannya dengan besar-besaran, masif, sebagai bagian dari dakwah, di mana tentu dengan tata cara pelaksanaan muamalah yang sesuai, atau ibadah-ibadah yang tentu sesuai dengan yang dibenarkan syariat serta tidak mengandung keharaman. Alias, selain 3 (tiga) hari tersebut tidak diperlukan perayaan apa pun (dalam rangka beragama).
Sedikit lagi, mungkin juga perlu sekalian diingatkan umat Islam akan terpecah menjadi 73. Golongan yang banyak (mayoritas) akan condong kepada kesesatan walaupun mereka menggunakan nama-nama yang baik atau beristilah “syar’i”, sedangkan golongan yang tetap teguh berada di atas manhaj sebagaimana Rasul dan Para Sahabat ada di dalamnya, yang haq hanya ada 1. Hanya ada sedikit orang-orang yang demikian, mereka akan dianggap buruk, sesat, dimusuhi, dan terasing. Namun berbahagialah jika kita termasuk di dalam orang-orang yang sedikit itu.
..Wallahu A'lam..