...

Kesabaran Ketika Menuntut Ilmu

Artikel - 1 month ago - Tag : Artikel
Author : Abdullah Abdurrahman

Kesabaran Ketika Menuntut Ilmu


Salah satu dari attitude dasar yang wajib dimiliki thulab ketika belajar (penuntut ilmu dalam rangka agama) adalah: “Sabar” (kesabaran).


Sebaliknya, jika tidak ada kesabaran (menuntut ilmu dalam rangka belajar agama) maka 100% dipastikan tidak akan berhasil atau gagal di tengah perjalanannya.


Salah satu hukum asal yang sangat perlu dipahami, bahwa berbeda dari belajar mengenai ilmu dalam rangka dunia yang berbatas waktu, contoh: 6 tahun SD; 3 tahun SMP; 3 tahun SMA; 4 tahun S1; 2 tahun S2; 2 tahun S3 dan semisalnya.


Sebaliknya, belajar menuntut ilmu dalam rangka agama tidak memiliki batasan waktu, tidak dibelenggu waktu, karena keluasan ilmu Allah yang tidak memiliki batas. Kita dapati fawaid ini dari sebuah analogi mudah, yaitu:


“Mencelupkan jari di samudra, di mana sisa tetesan air pada jari adalah ilmu dunia, dan samudra adalah ilmu agama/ilmu Allah.”


Maka, perlu dipahami bahwa merupakan kerugian sangat besar, apabila ilmu agama disejajarkan dengan ilmu dunia.


Maka, perlu dipahami bahwa merupakan kerugian sangat besar, jika ilmu agama dibatasi S1, S2, S3, selesai, tamat.


Tentu kita tahu, bahwa menuntut ilmu (agama) itu memiliki derajat yang setara dengan jihad, yang apabila seseorang mati ketika menempuhnya sama dengan mati syahid (mujahid). Maka bayangkan betapa sesungguhnya tidak masuk akal, apabila seseorang berjihad namun dilakukan dengan berbatas waktu, misal: 2 tahun saja, 3 tahun saja, 4 tahun saja, 6 tahun saja. Ini tentu sebuah kerugian yang sangat besar, yang mana tentu saja pemahaman seperti ini tidak dipahami oleh Para Sahabat (bukanlah pemahaman salaf).

 


 

Mungkin beberapa di antara kita masih belum tahu, dibawakan salah satu contohnya, yaitu bahwa beberapa Sahabat “junior” dan sebagian tabi’in yang mana mereka adalah salafush shalih bermulazamah (baca: belajar) dengan Ibnu Abbas Radhiallahu Anhu sampai beliau-beliau wafat. Mereka mempelajari agama Allah (Al-Qur’an) dari “Bismillah” sampai “Minal jinnati wannas”. Di mana setelahnya, apakah mereka mengenali istilah “Selesai?”, “Tamat?”, “Lulus?”, “Wisuda?”, “Sarjana?”, atau bahkan yang lebih buruk → “Drop out?”


Tentu saja jawab → Tidak!


Mungkin beberapa di antara kita masih belum tahu, bahwa Sahabat dan salafush shalih mempelajari agama ini tidak mengenal batasan waktu, alias tidak berbatas waktu.


Mereka mengulanginya, mempelajari kembali, menebalkannya, di mana disebutkan di salah satu riwayat mereka mempelajarinya, bahkan mengulang kembali sampai 7–9 kali, di dalam riwayat lain bahkan hingga belasan kali (sambil mengamalkan dan sambil mendakwahkan) semua yang telah mereka pelajari, sampai akhirnya mereka wafat.


Mereka sama sekali tidak mengenal istilah sarjana, “S.Ag”, “Lc”, “MA”, “M.Ag”, “Doktor”, atau “Profesor”. Mereka semua tidak memiliki “gelar”, mereka tidak memiliki istilah apa pun yang menjadi validasi untuk dianggap ahli dan kemudian berhenti mempelajari agama. Yang mana tentu saja, mereka memiliki keimanan, pemahaman, perbuatan (ibadah) jauh lebih tajam dibandingkan mereka yang memiliki “gelar”, kemudian berhenti belajar, lalu sibuk “mengajar”.


Mereka sebagaimana ibadah lain seumpama salat, jihad, haji, dan termasuk menuntut ilmu idealnya tidak diberi/memiliki “gelar” keahlian.


Baik yang duduk sesekali, yang setiap hari, ataupun yang bertahun-tahun menuntut ilmu, sama ketinggian derajatnya di mata ilmu, yaitu thulab, yang mana istilah ini adalah gelar yang amat sangat tinggi, yaitu seseorang yang (terus) menuntut ilmu kepada para ahli ilmu, yang (terus) mempelajari benar agama Allah.


Inilah definisi menuntut ilmu, inilah contoh menuntut ilmu Sahabat dan salafush shalih, dan kita ketahui bersama, dengan metode inilah hasil yang didapati sangat luar biasa: tauhid, iman, adab, akhlak, pemahaman, amalan, keistiqamahan yang luar biasa.


Bandingkan dengan diri kita?

 


 

Hari ini, kita dapati baru belajar 1–2 tahun sudah ada “embel-embel”, kadang 6 bulan, bahkan 3 bulan ikut sebuah pelatihan, ikut “training” agama, itu pun tidak kenal langsung dengan siapa dia belajar, itu pun pengajar tidak kenal dengan siapa yang diajarinya, namun sudah ada “embel-embel”, ada sertifikat, tanda tangan, dan stempel.


Hari ini kita dapati lebih tragisnya jika misal ikut pendaftaran, kemudian dengan membayar sejumlah uang, walaupun sering tidak hadir (sering bolos) ketika dalam proses belajar, lalu ditetapkan mendapat sanad (diberi sanad), diberi gelar, diberi sertifikat kelulusan, seolah ilmu dan sanad itu bisa dibeli, lalu dilabeli dengan gelar kelulusan.


Hari ini kita dapati sebagian dari mereka saudara-saudara kita, menggunakan nama “Ahlus Sunnah”, menggunakan “Al-Qur’an” dan “hadits”, menggunakan istilah-istilah syar’i, padahal mereka berpemahaman Hizbi, Haroki, Sururi, Ikhwani, Asy’ari, atau lainnya, namun mereka menisbatkan diri kepada “Salafi”, “Salafush Shalih”, “Sahabat”, padahal yang mereka buat sangat jauh melesat (melenceng) dari apa yang dipahami Rasul dan Para Sahabat.


Hari ini kita dapati sebagian dari mereka saudara-saudara kita yang katanya berilmu, yang divalidasi dengan “gelar”, seolah “Ahli Al-Qur’an”, seolah “Ahli Hadits”, seolah “Ahli Fiqh”, seolah “Ahli Agama”, namun malah menyebabkan mereka berhenti belajar, mereka sibuk mengajar, bahkan berbayar (bisnis). Di mana tentu yang demikian ini sangat jauh melesat (melenceng) dari apa yang dipahami Rasul dan Para Sahabat.


Inilah refleksi, sebab betapa jauhnya kita dari adab, akhlak, tauhid, iman, manhaj, pemahaman, amalan, dan keistiqamahan Para Sahabat. Karena sebagian dari saudara-saudara kita berhenti belajar, sibuk mengajar, dengan pemahaman dan pengajaran yang jauh dari apa yang dipahami oleh Para Sahabat. Karena sebagian dari kita belajar, bahkan bayar, untuk embel-embel “gelar”, dari orang-orang yang telah jauh melesat dari apa yang dipahami Para Sahabat, dari orang-orang yang dengan metamorfosis melenceng dari hakikat ilmu agama (akhirat), menjadi sekadar untuk mengakomodir kepentingan (dunia).

 


 

Dalam rangka mempelajari agama, menuntut ilmu agama, tidak masalah juga tidak haram jika misal sekarang (harus) melalui “pesantren”, melalui “sekolah”, melalui “universitas”, mondok, bermulazamah, memanfaatkan fasilitas teknologi online dengan alasan tertentu yang dibenarkan syariat atau lainnya, yang di mana dalam rangka tersebut perlu mengeluarkan biaya (semisal transport, fasilitas, makan, atau ongkos-ongkos lainnya), sebagaimana tentu Sahabat juga mengeluarkan “biaya-biaya” dan effort tertentu lainnya.


Namun, jangan jadikan agama (kepentingan akhirat) sebagai bisnis (kepentingan dunia), misal demi upah, demi gaji, jual sertifikat, jual ijazah, jual gelar, jual sanad, dan atau lain sebagainya, yang mana kemudian karena sebab itu, seseorang sudah merasa belajar agama, sudah merasa paham agama, dan menyebabkannya merasa bisa berhenti dari mempelajari agama (ilmu Allah).


Namun, jangan jadikan gelar sebagai gimmick untuk berbisnis agama, untuk belajar agama darinya dan atau untuk kemudian berhenti dari mempelajari agama, karena Para Sahabat tidak melakukan ini, karena bukan demikian pemahaman salafush shalih.


Inilah asal muasal, inilah asbab musabab sangat jauhnya pemahaman beragama Para Sahabat, para salaf, salafush shalih, jika dibandingkan dengan diri kita atau sebagian besar saudara-saudara kita hari ini.

 


 

Maka, betapa amat bersyukurnya kita, jika seandainya kita berkesempatan mempelajari agama ini dengan orang-orang yang memahami ilmu agama ini sebagaimana yang dipahami oleh Rasul dan Para Sahabat, yang tidak dibelenggu batasan waktu, tidak mengenal istilah “lulus”, “tamat”, tidak menjadikan “gelar” sebagai target atau patokan.


Maka, betapa amat bersyukurnya kita, apabila kita mampu bersabar, dimudahkan kesabaran untuk melintasi waktu, mempelajari agama Allah, memahaminya, mengamalkannya, mengistiqamahkannya, dan mendakwahkannya. Bukan sekadar 1–2 bulan, bukan 1–2 tahun, alias dibatasi waktu tertentu, bukan pula karena validasi gelar S1–S2 atau S3, melainkan sampai kita diwafatkan oleh Allah, dan kita mati diwafatkan Allah dalam keadaan syahid.


Wallahu A’lam