Kini kita sudah sampai pada zaman dimana, pakai rok pendek ke kampus, merokok di kampus, nge-pod disekolah, dugem legal bahkan baru disahkan club malam khusus Gen-Z, kekerasan terafiliasi dengan instansi pendidikan, kegiatan dan pelecehan seksual ada di sekolah dan pesantren.
Kini kita sudah sampai pasa zaman dimana, guru yang menunggu muridnya, murid yang bolos, izin, uzur, alasan lainnya, guru yang dimarahi orang tua murid, guru yang dibenci muridnya karena tidak asik, tidak luwes, tidak sesuai kemauan muridnya, dan lain sebagainya.
************************
Kini, misalkan ditanya, tahukah kita sistem kurikulum apa dibalik ini? sistem pendidikan model apa yang ada pada diri kita, sehingga bermentalitas bobrok, dan setelah sekian lama sekolah, ketika diuji tidak ada isi didalam kepalanya? Pasti kebanyakan dari kita tidak tahu.
Kini, kita akan bahas, apa dibalik ini semua, apa yang menyebabkan banyaknya Ustadz Palsu, Ulama Palsu, Akademisi Palsu, Dokter Palsu, dan lain sebagainya di negara yang kita cintai ini.
_____
Kurikulum pendidikan yang kita pakai, pendidikan yang ada melekat didalam kepala kebanyakan dari kita, adalah sistem pendidikan buatan lama, yang dibuat oleh bangsa Jerman untuk mendidik para budak. Sistem pendidikan ini yang kemudian dipakai dan diaplikasikan bangsa bangsa maju untuk mendidik bangsa bangsa jajahan mereka. Sistem pendidikan ini dibuat khusus untuk menjadi standar dan mendukung kegiatan industrialisme dan militerisme.
Kurikulum yang dibuat sedemikian rupa untuk menghasilkan pekerja keras dan prajurit. Alias mencetak dan membangun manusia manusia untuk kebutuhan orang lain, tidak untuk membangun manusia itu sendiri (yang sedang dididik).
Kurikulum “perbudakan”, bekerja untuk orang lain dan tetap dibuat kelaparan, tetap miskin, tetap bodoh, atau jika tidak akan dibunuh / ditembak. Kurikulum ini masif dipakai diawal abad 18 dimana, filsafat modern mulai bangkit dan berkembang, untuk mendukung kepentingan orang orang pintar dan kaya pada zaman itu. Awal mula zaman zaman perang, dimana manusia manusia “bodoh” dididik hanya untuk menjadi serdadu perang, sebagai umpan peluru, bagi kepentingan kaum aristokrat, saat industrialisasi mulai berkembang. Zaman Napoleon, zaman perang dengan meriam.
Kurikulum ini terus dipakai, dan diadaptasi hingga sekarang, sampai sekarang, di zaman industrialisasi sudah masuk era modern, disadur oleh negara negara maju, untuk terus menjajah negara negara miskin di sektor industri, dengan kurikulum yang mengajarkan agar orang orang tersebut tidak lepas dari kebodohan dan kemiskinan, melainkan hanya untuk menjadi budak dan serdadu perang bagi kepentingan sebagian orang lainnya. Hingga diizaman ini kita kenali istilah “Budak Korporat”.
Kurikulum seperti ini mewajibkan orang orang untuk bersekolah, dan lulus dari pendidikan seperti ini, kemudian diberi ijazah, adalah indikator dan pengakuan untuk orang tersebut mulai bekerja. (sebagai budak industrialis). Kurikulum seperti ini dibutuhkan, karena kalau tidak maka “raja” tidak akan memiliki “prajurit”, sebaliknya seseorang kalau tidak menempuh pendidikan ini tidak bisa jadi “prajurit”, tidak bisa makan, tidak bisa hidup.
Kurikulum inilah yang kemudian mengajarkan pendidikan pendidikan agar orang orang bodoh (tetap bodoh) dengan mengajarkan yang mungkin tidak dibutuhkan pelajar, melainkan ilmu yang dibutuhkan para kaum industrialis. Kurikulum yang mengajarkan “studia humanitatis”, kurikulum pendidikan untuk manusia agar tetap statis. Mengajarkan turunan trivium, quadrivium, yang dimodifikasi untuk mendidik seseorang menjadi budak, menjadi prajurit, walau mungkin pendidikan itu tidak dibutuhkan oleh si pelajar itu sendiri. Mengajarkan memblokade / membatasi akal pikiran, dan kecerdasan dengan terus mempelajari matematika, fisika, bahasa, seni, sejarah, dll, dari kecil sampai usia produktif, hingga mau tidak mau kemudian masuk usia bekerja dan menjadi budak dan prajurit mereka. Mendidik “Geisteswissenschaften” dan “Naturwissenschaften” metode dan kurikulum Jerman, yang mendidik manusia untuk tetap bodoh
Kurikulum yang membatasi kita harus mempelajari hal yang telah diatur tersebut dengan suka atau tidak suka, dipaksa sampai lelah, hilang kreatifitas, hingga kita tidak sempat mempelajari hal lain yang kita suka, tidak memiliki ilmu lain, skill lain yang kita perlukan atau kita butuhkan, selain skill untuk menjadi budak atau prajurit bagi orang lain.
Kurikulum ini menggunakan teknik “Fear” ketakutan, dimana jika tidak mempelajari dan menguasai ini, maka tidak bisa kerja, tidak bisa bekerja, tidak bisa makan, tidak bisa menjadi budak, atau istilah halusnya tidak bisa menjadi karyawan (bagi orang lain). Mendidik orang untuk tidak punya inisiatif, kreatifitas, skill, selain pakem yang dipelajarinya (doktrin), tidak memiliki keilmuan lain yang mungkin perlu dan dibutuhkannya, dan akhirnya tetap mudah dibodoh bodohi, dieksploitasi dan dimanfaatkan oleh orang lain.
Kurikulum seperti ini, mereka tidak pernah diajari literasi keilmuan apapun selain literasi keilmuan untuk mengurusi dan mengelola kepentingan orang lain. Akuntansi dan Investasi itu bukan pendidikan financial, melainkan ilmu untuk mengelola keuangan orang lain (perusahaan), bukan mengelola keuangannya sendiri. Membuat dan menghafal undang undang itu bukan pendidikan hukum, melainkan ilmu untuk kepentingan hukum orang lain, bukan agar memahami ilmu hukum itu sendiri. Diagnosis, Skrining, Mortalitas, itu bukan literasi pendidikan kedokteran, melainkan ilmu untuk mengelola jual beli tindakan medis dan obat, bukan ilmu untuk menyembuhkan orang sakit. dan lain sebagainya.
Notabene : Adapun jika misal kita menempuh pendidikan di negara negara maju, diluar negeri, di Harvard atau beberapa Universitas VVIP lainnya, kita akan mendapati kurikulum pendidikan yang sangat jauh berbeda, yaitu ditanamkannya apa itu pengetahuan itu sendiri, diajari apa itu literasi keilmuan itu sendiri, pendidikan akan keilmuan itu sendiri, yang sesuai dengan bakat, minat dan kebutuhan dan keperluan masing masing.
*************************
Hasil atau dari kurikulum pendidikan formal yang dibahas diatas adalah : kebodohan, kemiskinan, pembodohan, penipuan, hutang, ketidakmakmuran, ketidaksejahteraan.
Seseorang dengan keilmuan dan skill yang terbatas, namun didorong dengan kebutuhan dan tuntutan kehidupan yang banyak, himpitan ekonomi, keinginan lepas dari kemiskinan, akhirnya menyebabkan seseorang tidak lagi idealis dengan ilmu pengetahuan yang dipelajari dan dikuasainya, melainkan mereka menjadi “sales”, “menjual” ilmunya demi kebutuhan, atau demi mungkin kekayaan.
Mereka tidak lagi menghitung neraca keuangan dengan benar, melainkan “menjual” ilmunya untuk kemudian menipu laporan keuangan. Mereka tidak lagi menegakkan keadilan, melainkan mereka “menjual” hukum, untuk memenangkan perkara tertentu. Mereka tidak lagi mengobati orang sakit, melainkan mereka “berjualan” obat. Mereka tidak lagi sebagai “akademisi” yang baik, melainkan hanya syarat untuk masuk panggung menjadi "politisi”. Mereka tidak lagi menjadi guru, ustadz, ulama yang mencerdaskan kehidupan bangsa, melainkan membodohi umat dan kemudian “menjual” ilmunya bagi yang mau membayar. Keilmuan yang ada pada diri mereka tidak kemudian dipakai dengan benar melainkan melahirkan versi “kepalsuan” dari ilmu tersebut dan merugikan orang lain.
***************************
Kurikulum disekolah (di Negara Miskin), mungkin hanya mengajari 10% dari total 100% keilmuan yang seharusnya kita pelajari, dan kuasai. Dimana jika, kita hanya mengandalkan “sekolah” maka hampir dipastikan kita akan tetap bodoh, dan hanya menjadi budak atau prajurit bagi kepantingan orang lain, keilmuan yang kita miliki cenderung “palsu”, karena mempelajari yang mungkin tidak kita perlukan, tidak kita kuasai, hanya dilabeli dengan sertifikat/ijazah, kita sendiri mengalami kerugian besar, dan cenderung akan merugikan orang lain.
Oh iya. Kurikulum ini disebut :
“Kurikulum : PRUSIA”
_____
Kurikulum di sekolah, mau tidak mau tetap mungkin harus ditempuh bagi sebagian orang, namun kurikulum disekolah tidaklah cukup, tidaklah memenuhi kebutuhan kita akan ilmu. Ada 90% ilmu dan pengetahuan yang letaknya diluar “sekolah”, dimana tidak disarankan merasa cukup dengan “sekolah”, melainkan tetap sangat disarankan mencari ilmu, dan mempelajari ilmu, dari sumber sumber ilmu lain diluar “sekolah”, tentunya dari sumber sumber ilmu yang benar, dan asli memiliki keilmuan tersebut, dimana justru jangan mengambil ilmu dari sumber sumber ilmu yang palsu.
..Wallahu a’lam..