...

Major VS Minor

Artikel - 1 year ago - Tag : Artikel
Author : Abdullah Abdurrahman

Konteks “Mayoritas vs Minoritas” di sini tidak merujuk pada Muslim vs Non Islam di negara Indonesia. Jelas, ini menjadi hal baik karena Indonesia menjadi (salah satu) negara dengan penduduk mayoritas muslim terbesar di dunia dan menjadi keuntungan besar bagi kita untuk mendominasi kaum Non-Islam. Namun, faktanya, keuntungan tersebut tidak dimanfaatkan dengan baik karena mayoritas kaum muslimin Indonesia diibaratkan seperti buih di lautan, banyak namun seakan tidak ada artinya. Mereka malah mengikuti arus kaum minoritas, yaitu menjadi budak kaum 1%, membebek pola pikir, muamalah, Yahudi, Non-Islam, dan kafir.

Sebenarnya, kita sudah paham dan pernah dibahas pada kesempatan sebelumnya, dimana kita sebagai muslim malah membebek Yahudi, mengikuti Yahudi, dan memiliki isi kepala Yahudi (Munafik, Pengkhianat). 

Semoga tidak satupun dari kita yang demikian.



Selanjutnya, kita pertajam lagi pemahaman tentang tindakan yang dilakukan banyak orang belum tentu baik dan benar. Sebagai contoh, calon pemimpin yang dicoblos oleh mayoritas orang di TPS, bahkan menang dalam satu putaran, belum tentu itu merupakan tindakan yang baik dan benar. 

Akan tetapi, tindakan yang dilakukan oleh sedikit orang, bisa jadi itulah yang benar. Seperti yang kita ketahui bahwa yang 1 dari 73 itulah yang haq dan bisa jadi 1 dari 1000 itulah yang masuk surga atau 3 dari 30.000 itulah yang berada di atas kebenaran.

Mana buktinya? 

Berikut kita bahas dibawah



Mengutip dari tokoh akademisi, Politisi dan Diplomat, DR. M. Fajroel Rachman dan DR. Dino Patti Djalal, mengatakan bahwa setidaknya 10.000 manusia sedang mencalonkan diri sebagai anggota legislatif, eksekutif, “wakil rakyat”, atau “pemimpin rakyat”.

Mereka berdua mencoba memberikan pandangan mengenai sosok seperti apa yang setidaknya mendekati ideal untuk menjadi “wakil rakyat” atau “pemimpin rakyat” kalaupun mau dijadikan acuan referensi untuk dipilih, yaitu :

  1. Moh Hatta, Beliau ini tidak gila akan jabatan di tengah puncak jabatannya dan perkembangan politik saat itu. Akan tetapi, beliau memilih untuk mengundurkan diri dan tidak ingin terlibat dengan politik yang kotor saat itu. Namun, Beliau tetap menghormati Bung Karno, menjaga dan berhubungan baik, serta terus memberikan kontribusi kepada negara di luar pemerintahan/ politik/ kekuasaan.
  2. Prof Emil Salim, Beliau ini tidak gila sanjungan dan menolak diberikan apresiasi atas apa yang beliau rasa tidak pantas disematkan kepada dirinya. Padahal, kita tahu bahwa Beliau pernah menandatangani Konvensi Rio pada KTT Bumi, namun beliau merasa dirinya, pemerintah, dan berbagai pimpinan dunia gagal dalam komitmen tersebut sehingga menolak untuk diberikan penghargaan (penghargaan Environment Lifetime Achievement Award (FYI, beliau tokoh lingkungan hidup legendaris)). Faktanya memang pemimpin yang suka disanjung adalah pemimpin yang labil dan lemah.
  3. Hoegeng Iman Santoso, Beliau ini tidak gila uang, disiplin, penuh integritas, profesional, dan bersih dengan Filosofi hidupnya yang terkenal, yaitu “Baik untuk menjadi orang penting, tetapi lebih penting untuk menjadi orang baik”. Beliau pernah menutup toko bunganya (bisnis) sendiri karena tidak ingin ada pesanan dari orang yang memiliki kepentingan atas jabatannya. Kemudian, Beliau juga pernah menolak rumah dan mobil hadiah atas jabatannya serta beliau sekeluarga tidak menikmati fasilitas negara dalam bentuk apapun di luar keperluan negara, bahkan mengantri seperti warga biasa.


Menurut data, jika ditotal dari era reformasi saja, mungkin terdapat setidaknya 60.000 manusia ingin menjadi wakil rakyat, 10.000 nya sudah berhasil terpilih lewat “sistem demokrasi” menjadi “wakil rakyat”, tetapi jika kita simak lagi, adakah dari mereka semua yang merupakan sosok wakil/pemimpin rakyat yang mendekati ideal sebagaimana 3 orang di atas?

Kemudian, jika ditotal dari era kemerdekaan, orde lama, orde baru, dan orde era reformasi, ada setidaknya 30.000 yang sudah terpilih menjadi wakil/pemimpin rakyat, legislatif, eksekutif, yudikatif. Akan tetapi mari kita telaah lagi, adakah dari mereka semua yang mendekati wakil/pemimpin rakyat yang ideal sebagaimana 3 orang di atas?

Mana yang ideal dan benar? (30.000 Orang vs 3 Orang)

Yang Mayoritas? atau,

Yang Minoritas, tetapi berada di atas prinsip-prinsip kebenaran?

Apakah kita masih ingin berpemahaman dengan pola pikir sesat bahwa Mayoritas (atau Jumlah yang lebih banyak) itu adalah patokan kebenaran? Lalu, apakah pemilihan yang dimenangkan oleh sebagian besar orang akan menghasilkan pemimpin atau wakil yang benar-benar mewakili kita?

Apakah jangan-jangan kita ini hanyalah bagian dari kaum muslimin yang mayoritas tetapi seperti buih di lautan?

Sejatinya, patokan yang seharusnya adalah yang berlandaskan pada prinsip kebenaran (Al Quran dan As Sunnah), meskipun mereka yang memahami kebenaran ini jumlahnya sedikit.

..Wallahu a’lam..