Adalah bentuk pemerintahan yang keputusan-keputusan pentingnya, baik secara langsung atau tidak langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari masyarakat dewasa.
Apakah Indonesia menganut Sistem Demokrasi? Atau menganut Sistem Kapitalis? dimana yang kuat dan berduit yang berkuasa? Atau namanya saja yang Demokrasi padahal kenyataannya tidak demokratis?
*********************
Sistem Demokrasi datang dari Yunani, dari kata “Demos” “Kratos”, disini kita tidak bahas definisi artinya, namun akan kita bahas secara hakikatnya.
Sistem ini sebenarnya lemah dan rapuh, karena sebagaimana pernah dibahas sebelumnya.
Bagaimana 1 orang guru akan kalah dengan 10 orang murid. Bagaimana 1 Alim, akan kalah dengan 10 pengangguran. Yang dipilih oleh 10 orang tidak berilmu, maka dia akan memimpin Negara ini. Dan lain sebagainya.
Bagaimana semua orang bisa mencalonkan diri, bisa memimpin, padahal dia tidak mengerti dan memiliki kemampuan dalam maslahat orang banyak.
Bagaimana ini jauh dari tuntunan agama kita, dimana ini termasuk tasyabuh mengikuti sistem Non Muslim (padahal di Islam ada tuntunannya), dimana perihal memilih itu dipilih oleh yang mengerti saja, bukan semua orang memilih, dimana memilih rektor, memilih direktur saja diputuskan dan dipilih oleh yang mengerti saja, bukan semua (mohon maaf), OB, sekuriti, tukang parkir kampus, atau gedung perusahaan itu ikut memilih juga.
Bagaimana ini jauh dari tuntunan agama kita, dimana ini pemborosan luar biasa, bayangkan dibutuhkan uang rakyat sebesar setidaknya 70.5 Triliyun untuk mengadakan pemilu ini.
Bagaimana jika kita memilih, dan kemudian misal yang kita pilih melakukan korupsi, lantas kita mendapat dosa jariyahnya.
Bagaimana di TPS kita susah-susah menghitung 1-1 suara, sampai ribut-ribut, sedangkan misal di TPS luar negeri yang tidak semua (WNI di Negara itu) mau sanggup datang ke KBRI, Konsulat (karena diluar kota KBRI dan Konsulat), ada ratusan ribu sampai jutaan suara tidak terpakai yang bisa “diplot” untuk salah satu calon.
Bagaimana kita dipahamkan bahwa sebagai warga negara yang baik wajib memilih, harus memilih. Padahal perihal “milih” itu adalah Hak bukan Wajib (Hak Suara bukan Wajib Suara)
Bagaimana kita dipahamkan bahwa harus memilih diantara pilihan misal 1,2,3, padahal yang sebenarnya pilihannya yaitu ada 4, alias pilihan ke 4 yaitu jika tidak ada yang cocok diantara 1,2,3 maka ada pilihan no 4, yaitu tidak memilih 1,2,3. Misalkan kita dihadapkan pada pilihan mau makan Nasi atau Mie, padahal bukan berarti kita wajib memilih Nasi atau Mie, melainkan ada pilihan ke 3 yaitu, kita bisa tidak makan keduanya.
Banyak lagi, namun satu yang bisa disampaikan disini dan ini yang paling membingungkan, dan bersiaplah kita semua yang berakal sehat akan mendadak netral setelah mendapati fakta ini, yaitu :
Bagaimana setelah 1,2, atau 3 yang terpilih. Selanjutnya ada yang namanya konsolidasi, dimana kekuasaan Presiden terpilih tidaklah mutlak, melainkan suara di parlemen. Maka dengan peta yang ada, maka siapapun yang menang, maka diperlukan konsolidasi di parlemen. Presiden terpilih perlu suara mayoritas di parlemen dan ini tidaklah mungkin
Kita simak :
Calon A dengan dukungan 20-30% parpol
Calon B dengan dukungan 20-30% Parpol
Calon C dengan dukungan 20-30% Parpol
Maka siapapun yang menang maka suaranya hanya 20-30% di parlemen, dimana 70-80% lainnya akan berlawanan, dimana disinilah akan dibutuhkan konsolidasi. Maka siapapun yang menang nanti akan berkoalisi juga dengan yang kalah, agar mendapat suara mayoritas di parlemen. Maka kita sudah ribut-ribut bertetangga, di kantor, di medsos, bela nomor 1, bela nomor 2, bela nomor 3, nanti ujung-ujungnya mereka akan konsolidasi, koalisi lagi.
Apakah kita lupa, dan tidak tersadarkan akan hal ini? Apakah kita lupa 2019 kemarin siapa yang menang, dan ternyata konsolidasi, koalisi juga, untuk memenuhi suara mayoritas di parlemen.
Bagaimana kita memilih presiden dengan cara demokrasi, voting, mayoritas vote, dll, padahal kekuasaan presiden disini tidaklah mutlak. Presiden tidak lantas bebas membuat, mengatur, mengurus negara ini, melainkan terikat, harus izin dan minta persetujuan DPR. Jadi ketika si A menang dengan dukungan 20-30% suara parpol pendukungnya, maka ada 70-80% yang kalah dan sebagai oposisi di parlemen, dimana sekali lagi ujung-ujungnya akan konsolidasi, akan koalisi juga.
*************************
Berarti Golput?
Berarti Salafi Wahabi Golput?
Berarti melawan pemerintah?
Ah tetapi banyak Ustadz nyoblos?
Ah tetapi Ustadz Salaf, nyuruh nyoblos kok?
“Golput” itu diframing seakan ini jelek, ini negatif. Padahal buka semua buku-buku Ilmu tentang Demokrasi, Politik, dan lainnya, “Golput” atau tidak memilih diantara pilihan yang ada, itu juga termasuk memilih. Karena bagaimana kita mau dipaksa memilih Coca Cola, Fanta, Sprite, sedangkan kita maunya Air Putih. Memilih Air Putih ini, atau tidak memilih Coca Cola, Fanta, Sprite, juga adalah pilihan, dan ini tidaklah jelek, negatif, atau buruk. Ingat memilih Coca Cola, Fanta, atau Sprite ini adalah hak, bukan kewajiban. Jika memang wajib, saya terang benderangkan, adakah didapati hukumannya? misal denda? kurungan? penjara? bayar dam? kifarat? dosa? fatwa haram? ancaman neraka? Tidak Ada. Maka perihal suara kita memilih, ini adalah hak, bukan wajib.
Kita dalam beragama, beribadah, bermuamalah bukan mengikuti Ustadz, bukan mengikuti apa kelakuan Ustadz, melainkan kita mengikuti Al Quran dan As Sunnah, yang dipahami Para Sahabat, Para Generasi Salafush Shalih, yang dijamin paham atas agama ini dan selamat, Pemilihan Pemimpin ada sejak zaman dahulu, apa ada Sahabat kita dapati nyoblos, voting, jadi pengawas TPS, masuk bilik suara, kala pemilihan Ulil Amri?
Apabila ada Ustadz, atau ada Ustadz berpemahaman “Salaf” tetapi perilakunya tidak Salaf, ya tentu tidak kita untuk ikuti. Karena yang kita ikuti adalah Al Quran dan As Sunnah sebagaimana diatas, bukan mengikuti kelakukan Ustadz.
Lantas, bagaimana kita sebagai Kaum Muslimin seharusnya memahami ini dan bersikap. Apa pemahaman, tuntunan dan petunjuk dari Al Quran dan As Sunnah terkait ini?
(Bersambung)
..Wallahu a’lam..