Tauhid #3
Tauhid Asma wa Sifat termasuk salah satu dari tiga macam Tauhid (Tauhid Uluhiyah, Tauhid Rububiyah dan Tauhid Asma wa Sifat).
Mereka yang mengingkari Tauhid Asma wa Sifat berarti mengingkari salah satu macam Tauhid. Mereka yang ingkar ini tidak lepas dari dua keadaan yang berikut.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَهُمْ يَكْفُرُوْنَ بِالرَّحْمٰنِۗ
“Padahal mereka kafir (ingkar) kepada Ar-Rahman (Tuhan Yang Maha Pemurah)“. [Ar-Ra’d/13 : 30].
Dengan demikian, siapa saja yang mengingkari sesuatu dari nama-nama dan sifat-sifatNya, baik itu orang-orang Filsafat, Jahmiyah, Mu’tazilah, atau aliran selain mereka-pun termasuk KAFIR, sesuai dengan kadar pengingkaran mereka terhadap nama-nama dan sifat-sifat Allah tersebut”.
Adapun mereka berbeda antara lisan, tampilan dan keyakinan, maka seseorang tersebut dihukumi MUNAFIK atas pengingkarannya.
(Lihat Taysir Aziz Al-Hamid hal. 575-588)
Tambahan bagi seseorang yang tidak mengetahui, maksud di sini tidak mengimani, tidak meyakini, tidak mempercayai, bingung, setelah datang hujjah, maka dihukumi KAFIR atas penolakan, ketidaktahuan yang didasari kebingungannya.
Sebagaimana Imam Abu Hanifah berkata, “Barang siapa yang mengatakan, Saya tidak tahu apakah Tuhan saya (Allah) berada di langit atau bumi, berarti dia telah kafir karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
اَلرَّحْمٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوٰى
“Allah ber-istiwa di atas arsy-Nya“. (Thaha/20 : 5).
Dan arsy-Nya berada diatas langit yang tujuh”. [Lihat Mukhtasar Al-Uluw oleh Imam Dzahabi hal.136].
Tauhid Asma dan Sifat bukanlah sesuatu yang baru dimunculkan oleh orang-orang belakangan. (Bukanlah) Anda telah mendengar hukum bagi siapa saja yang mengingkari nama Allah Ar-Rahman ! Dan (bukankah) mengimani Tauhid ini terdapat dalam pembicaraan para Sahabat, Tabi’in, Imam yang Empat, dan yang lainnya dari kalangan Salaf.
Imam Malik, ketika ditanya tentang masalah istiwa (tingginya) Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas Arsy-Nya berkata, Istiwa (Allah) sudah sama dipahami, dan bagaimana (hakikat)nya tidak diketahui, sementara mengimaninya adalah wajib, dan bertanya tentang bagaimana (hakikat) Allah ber-istiwa adalah bid’ah”. (Lihat Mukhtasar Al-Uluw oleh Imam Dzahabi hal.141).
Istiwa -> Istiwa (selesai).
Jangan diartikan -> “semayam” (duduk).
(Diartikan Allah Duduk)
Perihal Nama dan Sifat Allah, tidak boleh ditakwil, dengan takwil yang bathil.
-Jangan ditakwil (tahrif) kekuasaan (istaula)
-Jangan dtakwil (ta’thil), kedudukan tinggi, bersama kalian di mana-mana.
-Jangan ditakwil (takyif) Allah butuh tempat? Sebelum ada arsy di mana?
-Jangan ditakwil (tamtsil/tasybih/jism) Allah punya tangan/jari/betis/telapak/ berarti seperti makhluk (membayangkan/menyamakan/menyerupakan).
-Jangan ditakwil (tafsir) sebagaimana perihal lain ada tafsirnya. Ditafsirkan saja tidak boleh.
“Mengimani Tauhid Asma’ wa Sifat dengan menetapkan apa-apa yang telah Allah tetapkan atas Diri-Nya dan telah ditetapkan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi-Nya, tanpa tahrif dan ta’thil serta tanpa takyif dan tamtsil. Menetapkan tanpa tamtsil, menyucikan tanpa ta’thil, menetapkan semua Sifat-Sifat Allah dan menafikan persamaan Sifat-Sifat Allah dengan makhluk-Nya.”
Tahrif yaitu merubah lafazh Nama dan Sifat, atau merubah maknanya, atau menyelewengkan dari makna yang sebenarnya.
Ta’thil yaitu menghilangkan dan menafikan Sifat-Sifat Allah atau mengingkari seluruh atau sebagian Sifat-Sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Perbedaan antara tahrif dan ta’thil ialah, bahwa ta’thil itu mengingkari atau menafikan makna yang sebenarnya yang dikandung oleh suatu nash dari Al-Qur-an atau hadits Nabi, sedangkan tahrif adalah, merubah lafazh atau makna, dari makna yang sebenarnya yang terkandung dalam nash tersebut.
Takyif yaitu menerangkan keadaan yang ada padanya sifat atau mempertanyakan: “Bagaimana Sifat Allah itu?” Atau menentukan bahwa Sifat Allah itu hakekatnya begini, seperti menanyakan: “Bagaimana Allah bersemayam?” Dan yang seperti-nya, karena berbicara tentang sifat sama juga berbicara tentang dzat. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai Dzat yang kita tidak mengetahui kaifiyatnya (entitasnya). Dan hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mengetahui dan kita wajib mengimani tentang hakikat maknanya.
Tamtsil atau Tasybih, yaitu mempersamakan atau menyerupakan Sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan makhluk-Nya.
Tafsir yaitu mengartikan dengan penafsiran selain dari yang diterangkan oleh Allah dan RasulNya sendiri.
Lihat Syrahul ‘Aqiidah al-Waasithiyyah (I/86-102) oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, Syarhul ‘Aqiidah al-Waasithiyyah (hal 66-69) oleh Syaikh Muhammad Khalil Hirras, tahqiq ‘Alwi as-Saqqaf, at-Tanbiihaatul Lathiifah ‘alaa Mahtawat ‘alaihil ‘Aqiidah al-Waasithiyyah (hal 15-18) oleh Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, tahqiq Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz, al-Kawaasyif al-Jaliyyah ‘an Ma’aanil Waasithiyah oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz as-Salman (hal. 80-94).
Sebagaimana dibahas dibawah ini :
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya. Dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” [Asy-Syuura/42: 11]
Dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat,” adalah bantahan kepada orang-orang yang menafikan (mengingkari) Sifat-Sifat Allah.
Mendengar berarti memiliki telinga, melihat berarti memiliki mata seperti makhluk (padahal berbeda / tidak sama). Memiliki wajah, tangan, kedua tangan, duduk, butuh Arsy, menempel, dll (padahal berbeda / tidak sama).
Allah Bersama Kalian
Allah kedudukan Tinggi
Ini saja sudah berbeda, namun ini masih termasuk menyerupakan dengan makhluk, padahal Allah tidak serupa dengan makhluk.
- Makhluk dengan Makhuk
- Kaki Manusia X Kaki Meja/Gunung
- Madu/Susu/Sungai Dunia X dengan di Surga
Ini saja sudah berbeda, antara mahkluk dengan makhluk, apalagi antara makhluk dengan Allah.
I’tiqad Ahlus Sunnah (Salaf) dalam masalah Sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala didasari atas dua prinsip:
Dalam menuturkan Asma dan Sifat-Nya, Allah Subhanahu wa Ta’ala memadukan antara an-nafyu wal itsbat yaitu nafi dan isbat (menolak dan menetapkan) Maka Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak menyimpang dari ajaran yang dibawa oleh para Rasul, karena itu adalah jalan yang lurus (ash Shiraathul Mustaqiim), jalannya orang-orang yang Allah karuniai nikmat, yaitu jalannya para Nabi, shiddiqin, syuhada’ dan shalihin. Mereka menolak (dari pemahaman keliru tentang Allah) dan menetapkan (sesuai dengan ketetapan Allah untuk Nama dan SifatNya).
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَٰئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ ۚ وَحَسُنَ أُولَٰئِكَ رَفِيقًا
“Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan RasulNya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para Nabi, para shiddiiqiin, para syuhadaa’ dan para shaalihiin. Dan mereka itulah sebaik-baik teman.” (An-Nisaa/4: 69).
Memahami Asmaul Husna ada 99
Ini datang perkataan Ulama dari Al Quran dan Sunnah (50 sekian sesuai nash pada Hadits, 40 sekian sesuai pada nash Al Quran) Adapun diserap ke bahasa Indonesia Nama dan Sifat Allah ini ada di angka 60-70an (karena miskinnya kaidah dan perbendaharaan kosa-kata dalam Bahasa Indonesia).
Terdapat 99 nama Allah atau Asmaul Husna yang setidaknya harus kita ketahui. Berikut adalah daftar lengkap 99 Asmaul Husna dan artinya:
1. الرحمن = Ar Rahman
Artinya: Yang Maha Pengasih.
2. الرحيم = Ar Rahiim
Artinya: Yang Maha Penyayang.
3. الملك = Al Malik
Artinya: Yang Maha Merajai (bisa diartikan Raja dari semua Raja).
4. القدوس = Al Quddus
Artinya: Yang Maha Suci.
5. السلام = As Salaam
Artinya: Yang Maha Memberi Kesejahteraan.
6. المؤمن = Al Mu’min
Artinya: Yang Maha Memberi Keamanan.
7. المهيمن = Al Muhaimin
Artinya: Yang Maha Mengatur.
8. العزيز = Al ‘Aziiz
Artinya: Yang Maha Perkasa.
9. الجبار = Al Jabbar
Artinya: Yang Memiliki (Mutlak) Kegagahan.
10. المتكبر = Al Mutakabbir
Artinya: Yang Maha Megah, yang memiliki kebesaran.
(Dst sampai 99).
Misal : Sombong, Turun, Injak, Gulung, Lari, Datang, Marah, Cemburu, Tipu Daya, Malu, dll (~) tidak terhingga.
99 adalah angka setidaknya, yang mesti harus dan wajib diyakini ada pada diri Allah.
Jangan sampai kita terjatuh dari kepada salah satu perkara yang telah diperingatkan oleh beliau. Karena setiap perkara dari perkara-perkara yang disebutkan tadi adalah bentuk penyimpangan dalam Tauhid asma’ wa sifat. Dan Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman:
وَلِلَّـهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ فَادْعُوهُ بِهَا ۖ وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ ۚ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ ﴿١٨٠﴾
“Hanya milik Allah nama-nama yang indah, maka bermohonlah kepadaNya dengan menyebut nama-nama tersebut itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-A’raf : 180).
Manusia tidak boleh menggunakan / menisbatkan kepada istilah Nama-Nama dan Sifat-Sifat Allah.
1. Terlalu tinggi/rendah,
2. Tidak boleh mengandung arti/sifat,
3. Tidak perlu mengandung doa/harapan,
4. Tidak nama yang buruk,
5. Tidak nama tasyabuh (Kafir/Iblis/Hewan).
Adapun sebaik-baik penamaan :
“Sesungguhnya nama yang paling dicintai Allah adalah Abdullah dan Abdurrahman.” (HR. Muslim no. 2132)
2. Abdul Malik, Abdul Bashiir, Abdul ‘Aziz dan lain-lain. Namun perlu diketahui di sini bahwa hadits, “Sebaik-baik nama adalah yang di mulai dengan kata “Abd (hamba)” dan yang bermakna dipuji (di depan Nama atau Sifat Allah)”.
3. Nama Nama Nabi dan Rasul (Istri Nabi / Anak Nabi)
4. Nama Nama Sahabat
5. Nama Nama Orang Shalih (Ulama / Guru)
+ Nama yang tidak mengandung arti, dan larangan sebagaimana di atas.
Tauhid Asma Wa Sifat adalah Mengenal Allah. Tauhid Asma Wa Sifat adalah Ilmu paling tinggi, di atas ilmu pengetahuan Tauhid Rububiyah (siapa pemberi rizki, penurun hujan, dll), di atas ilmu pengetahuan Uluhiyah (tata cara ibadah). Melainkan ilmu yang membuat kita mengimani meyakini Allah, karena -> mengenal siapa itu Allah.
Tauhid Asma Wa Sifat adalah ilmu yang lebih penting lebih penting dari ilmu apapun (mengenal siapa Allah) lebih penting dari ilmu Filsafat, Psikologi, Komunikasi, ilmu Relasi, mengenal Presiden, ilmu cara jadi konglomerat, ilmu- Ilmu dunia, dll. Betapa banyak yang mengenal ilmu, tetapi tidak mengenal Allah (tidak berilmu tentang Allah), dan orang-orang tersebut celaka dan merugi.
Mendapati, memahami, mengerti, mengenal Allah, belajar dan memiliki ilmu Asma Wa Sifat, Tauhid Asma Wa Sifat, kemudian meyakininya, mengimaninya adalah sebuah keberuntungan, sebuah anugrah, karena betapa banyak Kaum Muslimin tidak mengenal ilmu ini.
Tauhid Asma Wa Sifat, inilah yang disebut ilmu agama. Ilmu yang dibuat oleh Allah. Didapati ada Bab ilmu tersendiri untuk memahami ini yaitu disebut -> “Fiqh Asmaul Husna”
Note :
Perlu diketahui bahwa, Ilmu Tasawuf, Kalam, Filsafat (Agama Islam), Ushul Fiqh, Fiqh, Balagah, Nahwu, Shorof, Tajwid, Tahsin, Tilawah, Tahfidz(Hafalan), Tarikh (Sejarah) Tafsir, Sirah, Hisab (astronomi) adalah ilmu-Ilmu dunia, dibuat manusia, metodenya dibuat juga oleh manusia.
Perlu diketahui bahwa yang dimaksud ilmu agama (dibuat Allah) adalah : Adab, Akhlak (sabar, ikhlas, tawadhu, tawakal, sedekah, sombong, riya, dll), dan ilmu-ilmu bernilai moral. Karena mempelajari agama, pelajaran pasti outputnya adalah -> bermoral.
Perlu diketahui, mempelajari Tauhid, terkhusus Asma Wa Sifat, Fiqh Asmaul Husna, inilah pelajaran agama yang sebenarnya, belajar agama yang mana akan mendatangkan keimanan, keyakinan, dan perilaku bermoral. Sebaliknya, tidak mendatangkan keimanan, keyakinan, dan perilaku bermoral, maka sia-sialah ilmu agamanya, percuma, dan bukan termasuk dari mempelajari agama.
(Bersambung)
Penjelasan : Aqidah Dan Tauhid.
Syarah dan Taqhiq oleh : Abu Abdullah Abdurahman.
..Wallahu a’lam..