...

THE PHILOSOPHY OF STUDY

Artikel - 5 months ago - Tag : Artikel
Author : Abdullah Abdurrahman

THE PHILOSOPHY OF STUDY

 

Setelah sebelumnya kita membahas perihal Guru “palsu”, Ustadz “palsu”, bahkan Kurikulum “palsu”. Kini kita akan membahas perihal apa itu makna belajar dan mengajar yang sebenarnya, sehingga menjadi terang benderang bagi kita, terbedakan mana yang sebenarnya dan sejatinya adalah asli, dan mana yang pada hakikatnya adalah palsu.

 

_____________________

 

Secara filsafat atau pada arti filosofisnya, pada hakikatnya, istilah Ustadz dalam bahasa Arab, atau dalam bahasa Sansekerta turunan dari bahasa Hindu tradisional disebut “Guru”, adalah padanan dari 2 akar kata “Gu” dan “Ru”. Dimana “Gu” yang artinya = Kegelapan, kemudian “Ru” yang artinya = Obor.

 

Jika disatukan 2 kata ini secara bebas artinya yaitu : “Obor Kegelapan” atau secara makna adalah obor yang mengusir kegelapan, atau obor yang memberi cahaya dalam kegelapan, atau orang yang mempu mengusir kegelapan, atau orang bercahaya yang mampu mengusir kegelapan, atau seseorang yang menjadi pemandu jalan dari tempat yang gelap menuju tempat yang terang, atau seseorang berilmu yang mampu mengusir kebodohan.

 

Secara filsafat atau pada arti filosofisnya, pada hakikatnya, bukanlah seorang guru (dalam konteks umum) atau bukanlah seorang ustadz (dalam konteks agama) jika dia tidak mampu mengusir kegelapan, jika dia tidak mampu memberi cahaya, jika dia tidak mampu membawa seseorang kepada jalan yang terang, jika dia malah membawa orang lain tersesat kedalam kegelapan, jika dia tidak mampu memberi ilmu, dalam konteks dunia (guru), atau dalam konteks agama (ustadz).

 

Kemudian kata “Santri” ini juga berasal dari bahasa Sansekerta atau bahasa Hindu tradisional yang mana kata "Santri" dalam pesantren berasal dari kata "Shastri" dalam bahasa Sansekerta yang berarti orang yang belajar untuk mengetahui kitab suci agama Hindu.

 

Kemudian kata “Pesantren” sendiri, yang juga berasal dari bahasa Sansekerta atau bahasa Hindu tradisional yang artinya adalah mengacu kepada sebuah tempat (pondok) di mana para santri (pelajar) mempelajari dan mengetahui kitab suci agama Hindu.

 

Kita dapati, terjadi dan kenyataannya, para santri (pelajar) yang belajar di pondok (pesantren), yang mana belajar agama Islam mereka mendapati ajaran ilmu agama Islam ini bercampur dengan ajaran ilmu agama Hindu, misal tahlilan 7 hari, dan kemudian ini dikembangkan oleh para musafir kerajaan Campa yang beragama Islam, namun beraliran Syi’ah, di mana kita tahu Syi’ah adalah aliran sesat yang sengaja dibuat untuk merusak Islam dari dalam.

 

Kita dapati, terjadi dan kenyataannya, di tempat-tempat di mana pondok-pondok pesantren ini banyak didapati, di situ pulalah banyak didapati agama kejawen, pemahaman kejawen, kepercayaan kejawen, Islam dengan pemahaman kejawen, Islam yang tercampur dengan pemahaman kepercayaan-kepercayaan kuno atau Hindu tradisional, dan juga terpapar pemahaman Syi’ah.

 

Kita dapati, para “Guru” atau “Ustadz” atau istilah lain “Kyai”, dan para “Santri” yang kita ketahui sebagai pengajar dan pembelajar Islam, namun output atas pemahamannya terhadap agama Islam, tercampur dengan pemahaman kepercayaan kuno kejawen, kepercayaan Hindu, bahkan bercampur dengan pemahaman Syi’ah.

 

*******************************

 

Secara filsafat atau pada arti filosifisnya, pada hakikatnya “Guru”, seseorang yang mampu menerangi dari kegelapan, adalah seseorang yang bukanlah sembarangan, bukanlah main-main. “Ustadz” (dalam rangka agama) bukanlah seseorang yang sembarangan, bukanlah main-main, melainkan seseorang mulia, yang tinggi, yang terpuji, yang wajibnya dijunjung tinggi atas keilmuannya, atas cahaya pada dirinya, yang atas ilmunya dia bisa memberi cahaya terang, mengusir kegelapan, mengusir kebodohan, memberi ilmu, membawa orang lain kepada ilmu dan membawa kepada jalan kebenaran.

 

Secara filsafat atau pada arti filosofisnya, pada hakikatnya, padanan dari “Guru” atau “Ustadz” bukanlah “Santri” seorang yang belajar dan mengetahui kitab suci agama Hindu, melainkan “Murid”.

 

Secara filsafat atau pada arti filosofisnya, pada hakikatnya “Murid” diambil dari kata bahasa Arab tasawuf yaitu “Mursyid”, dari kata  Arada-Yuridu-Muridon. “Murid” atau “Mursyid” yang artinya adalah seseorang yang sangat bersungguh-sungguh ingin keluar dari kegelapan, sungguh-sungguh ingin mengambil ilmu dan mendapati cahaya, menuju jalan yang terang, mempelajari ilmu yang sebenar-benarnya, yang sangat bermanfaat dalam perjalanan menuju tempat yang terang, yaitu ilmunya Allah, atau ilmu agama, tentunya ilmu agama Islam yang benar dan yang murni.

 

Secara filsafat atau pada arti filosofisnya, pada hakikatnya “Murid” mempelajari dan memahami ilmu dari Allah, bukan sekedar “Tullaf” atau “Tholibul” atau “Thulab” atau diartikan hanya seseorang yang mengambil ilmu atau hanya sekedar mencontoh dari sosok (diri seorang) “Guru” atau Ustadz”.

 

Secara filsafat atau pada arti filosofisnya, pada hakikatnya, makna lain dari “Murid” atau “Mursyid” adalah bagaikan pipa penghubung yang menjadi penghantar air dari mata air di pegunungan (sesuatu yang murni) sampai ke sebuah gelas yang mana air tersebut diminum dan menjadi manfaat bagi kehidupan manusia.

 

*******************************

 

Kita dapati kini, makna dari “Guru”, “Ustadz”, “Santri”, “Murid”, “Thulab”, sekarang sudah jauh dari filosifis makna dan hakikat yang sebenarnya.

 

Banyak kita dapati kini, Guru hanya sekedar “pekerjaan” yang menjual ilmu dunianya, Ustadz hanya sekedar “pekerjaan” yang menjual ilmu agamanya, bukan lagi orang-orang yang ingin memberi cahaya dan mengusir kegelapan.

 

Banyak kita dapati kini, Santri, Kiyai, Gus, bukan lagi seseorang yang mempelajari atau mengetahui ilmu agama, melainkan pelajar-pelajar agama yang belajar agama dengan pengajar yang ilmu dan pemahaman tercampur dengan kejawen tradisional, pemahaman hindu kuno, bahkan tersusupi pemahaman sesat Syi’ah.

 

Banyak kita dapati kini, Murid jauh dari makna Mursyid, bergeser makna menjadi sekedar “Pelajar”, “Siswa” atau “Mahasiswa” yang sekedar mempelajari dan mengetahui ilmu perihal dunia bukan ilmu agama. “Thulab” yang tidak lagi bermakna orang-orang yang berjalan (berusaha) menuntut ilmu, tidak lagi bermakna orang-orang yang bersungguh-sungguh ingin mengambil Ilmu Allah, menjadi pipa penghubung air pegunungan yang murni, yang bermanfaat bagi kehidupan, bukan lagi orang yang bersungguh-sungguh mempelajari Islam yang benar (yang murni), melainkan hanya sekedar ingin tau, hanya meniru sosok (tampilan/ penampilan / pakaian) Guru atau Ustadz, itupun tanpa kesungguhan. Tidak lagi seperti pipa penyambung, yang bersanad langsung terhadap ilmu, namun melainkan dia hanya membaca, menerima ilmu sambil tidur-tiduran, atau sambil scroll-scroll konten agama pada media sosial.

 

Banyak kita dapati kini, Guru, atau Ustadz bahkan Kurikulum (atau metode didik) yang palsu. Guru dan Ustadz bukan lagi sosok obor yang memberi cahaya dan mengusir kegelapan. Di mana konsekuensinya banyak kita dapati kini, Santri, Murid, atau bahkan Mursyid yang tersesat dan tetap dalam kegelapan.

 

*******************************

 

Di zaman di mana para Alim Ulama banyak diwafatkan oleh Allah Azza Wa Jalla. Di zaman di mana banyaknya Qori (Ahli Baca Al Quran) tetapi bukan Quro (Memahami Al Quran). Di zaman di mana banyak Ulama su’ dan Ustad su’. Di zaman di mana banyak Ruwaibidha alias orang-orang bodoh yang ikut campur berbicara dalam perihal agama.

 

Di zaman di mana banyak Guru dan Ustadz yang sudah jauh bergeser dari makna dan hakikat sebenarnya, mereka yang bukan lagi memberi cahaya pengusir kegelapan, mereka yang bukan lagi mengajarkan agama Allah yang murni dan bukan berharap pada akhirat, melainkan mereka didapati mengharapkan dunia, yang menjadikannya hanya sekedar pekerjaan, menjual ilmunya demi dunia, demi uang.

 

Di zaman di mana banyak Santri yang sudah bergeser arti dan maknanya, yang sudah tercampur pemahamannya, dengan kepercayaan kejawen tradisional, Hindu kuno, bahkan berpemahaman Islam yang tercampur aliran sesat Syi’ah. Di zaman di mana banyak Murid namun bukan Mursyid, yang tidak bersungguh-sungguh berjalan berusaha mempelajari ilmu Allah, yang mana mereka sekedar belajar sebagai pelajar, sebagai siswa ataupun mahasiswa yang malah lebih sibuk hanya belajar perkara-perkara bangkai anak kambing (ilmu dunia), dibandingkan mempelajari ilmu agama Allah (ilmu akhirat). Dizaman di mana mereka tidak lagi menjunjung tinggi ilmu, meninggikan ilmu, tidak lagi memiliki adab terhadap ilmu, terhadap Guru dan Ustadz. Di zaman sekedar hanya ingin tahu, iseng-iseng, main-main, sembarangan tidak beradab, ilmu ini dipahaminya sambil tidur-tiduran, atau scroll-scroll media sosial.

 

Jika kita temui seorang Guru atau Ustadz, Alim Ulama, yang pada hakikatnya mereka benar-benar orang-orang yang seperti obor dalam kegelapan, obor yang mengusir kegelapan, yang menuntun ke jalan yang terang, yang benar-benar memiliki ilmu Allah, pemahaman ilmu agama yang benar, ilmu agama yang murni, yang tulus, yang ikhlas berjalan menuju jalan yang terang, yang bertujuan akhirat, bukan bertujuan dunia. Maka ini bukan perihal main-main, bukan perihal sembarangan.

 

Jadilah Murid, jadilah Mursyid, yang menjadi pipa-pipa yang menyambungkan air pegunungan yang murni, yang menjaga air tersebut tetap murni sampai ke gelas-gelas, yang diminum dan bermanfaat bagi manusia, bermanfaat sampai kepada akhirat. Jadilah Murid, jadilah Mursyid, yang menjunjung tinggi, yang terpuji, dan yang memuliakan.

 

Jika engkau dapati agama ini, maka gigitlah dengan gigi gerahammu, bukan dipegang, digenggam, bukan dipeluk, bukan dikantongi, melainkan gigit erat dengan kuat dia dengan gigi gerahammu agar tidak terlepas, dan jangan pernah lepaskan.

 

..Wallahu a’lam..