Bagaimana sebenarnya Islam yang benar?
Bagaimana sebenarnya memahami Islam?
Bagaimana sebenarnya mempelajari Islam?
Mari kita lihat bagaimana metode beragamanya Para Sahabat, Para Salaf. Mereka pertama tama mempelajari apa itu Iman, mereka beriman dahulu sebelum mempelajari Al Quran. Menukil perkataan sahabat :
“Kami (disuruh) belajar dahulu Iman
Sebelum kami (disuruh) belajar Al Quran (bukan mengikuti pikiran)”
Pelajari dahulu, bahwa apapun yang turun dalam Al Quran, wajib beriman, wajib diimani. Karena nanti (kemudian) Al Quran akan turun, tidak semuanya bisa diterima oleh akal, pikiran, atau logika.
*************************
Ingat bahwa ada kaidah perbedaan Ilmu Syariat dan Ilmu Dunia. Ada perbedaan sifat antara Ilmu syariat dan Ilmu Dunia, yaitu :
Ilmu Syariat -> Diimani, Diterima Dahulu.
Ilmu Dunia -> Ditolak, Dipikir Pikir Dahulu.
Tidak boleh mikir disini maksudnya adalah :
Akal, pikiran, logikanya orang awam, tidak boleh dipergunakan untuk memikirkan syariat, karena syariat kadang kala tidaklah logis (tidak selalu logis), maka terhadap yang demikian, syariat cukuplah diimani dahulu, diterima.
Adapun
Boleh beda pendapat disini maksudnya adalah :
Akal, pikiran, logikanya para ahli ilmu, para alim, para ulama, diperbolehkan berbeda pendapat dalam ranah Fiqh Furuiyah, Ijtihadiyah, atau pada perkara perkara yang baru, belakangan, atau tidak ada, dizaman dahulu.
_
Perbedaan Pendapat Ahli Ilmu Misal :
•Abu Bakar berpendapat bacaan shalat tahajud dibaca sirr, karena menjaga keikhlasan, tidak riya, tidak mengganggu orang lain.
•Umar berpendapat bacaan shalat tahajud dibaca jahr, karena bentuk syiar, mengajak orang lain, agar orang lain bangun, agar melakukan ibadah yang mulia ini.
Perbedaan ini ada pada perihal Fiqh Furuiyah, Fiqh cabang, perbedaan (sedikit) dari Ahli Ilmu disini dibolehkan, apalagi kedua perbedaan ini divalidasi Nabi shallallahu alaihi wasallam.
_
Awam Tidak Boleh Beda Pendapat, Misal :
•Ustadz A, atau seorang awam A, mengatakan Allah dimana mana. Karena berdasarkan pikiran mereka, tidak mungkin Allah butuh tempat, butuh makhluk, mereka pahami bahwa Allah bisa saja berada dimana mana sekehendak Allah.
•Ustadz B, atau seorang awam B, mengatakan Allah berada dihati. Karena berdasarkan pikiran mereka, bahwa hati ini suka berbisik, jika bisikan ini baik maka bisikan ini adalah suara Allah, adapun hati berbisik buruk, maka ini adalah bisikan syetan.
Perbedaan berdasarkan pikiran seperti demikian adalah tidak boleh, haram, karena bertentangan dengan apa yang difirmankan Allah (Al Quran), dan disabdakan Nabi (As Sunnah), tidak divalidasi kebenaran oleh Allah dan Rasulnya, dimana ini adalah perkara Ushul (Pokok) dimana kita tidak bisa keliru memahami syariat / agama ini.
Dan tentu banyak contoh perbedaan yang lain
*************************
Kemudian, pada perkara perkara baru, tentu ini perkara diluar ushul (alias fiqh furu), maka Ahli Ilmu, Alim, Ulama, dengan keilmuannya, boleh berpendapat didalam agama ini, dimana belum jelas, belum pernah terjadi, belum didapati tuntunan dari Nabi shallallahu alaihi wasallam. Dimana disebutkan Ulama adalah pewaris Nabi, pendapat mereka didalam agama ini apabila benar maka mendapat 2 pahala (2 kebaikan) adapun salah / keliru, karena keterbatasan mereka masih mendapat 1 pahala (1 kebaikan)
Perbedaan Ahli Ilmu
Pada Permasalahan Baru, Misal :
•Imam Hanafi, menghalalkan buaya
•Imam Syafii, mengharamkan buaya
•Syaikh Qardhawi, perihal Demokrasi Mesir
•Syaikh Albani, perihal Demokrasi Syria
Perbedaan ini ada pada ranah fiqh furuiyah, bab cabang perihal makanan, maka perbedaan pendapat Ulama disini boleh saja, sesuai kondisi situasi, waktu dan tempat saat itu. Perbedaan ini ada para ranah fiqh furuiyah, bab pemerintahan cabang demokrasi dalam islam, maka perbedaan pendapat Ulama disini boleh saja, sesuai kondisi situasi, waktu dan tempat saat itu.
•Daerah rawa sulit hewan, maka buaya (hewan air) menjadi halal. Inipun ranah darurat dan sementara. Daerah perkotaan banyak makanan, maka buaya haram (berkuku tajam) adalah haram.
•Daerah Mesir pada saat terjadi kondisi darurat, pecah perang saudara, potensi banyak bertumpahnya darah, maka Ulama mengatakan adalah solusi pada kondisi itu. Didaerah Syria saat itu negara tenang damai namun dipimpin penguasa Syiah maka tidak perlu ada pemilu, demo, dll, cukuplah patuh kepada pemimpinnya.
Dan tentu banyak contoh lain, namun ini adalah beberapa contoh perbedaan yang diperbolehkan didalam agama. Ingat bahwa perbedaan dari ahli ilmu, bukan orang awam, dan para perkara perkara fiqh furuiyah.
_
Perbedaan dari Awam yang Mikir
Memang apa salahnya jika tahlilan, maulidan, majelis ilmu bayar, qunut subuh demokrasi, dan banyak lainnya. Pemikiran pemikiran seperti ini tidak boleh, apalagi orang yang berpikir ini adalah orang awam, dan pikiran pikiran ini berbeda dari Allah dan Rasulnya. Inilah sebabnya pikiran pikiran demikian tidak diperbolehkan dalam rangka syariat / agama, karena akan membuat umat ini menjadi terpecah pecah, ikut pada masing masing buah pikiran orang per orang yang awam.
************************
Kemudian, misalkan Para Ulama berbeda pendapat, bukan lantas berarti diartikan kedua duanya benar, melainkan bisa benar dan bisa saja salah, sebagaimana Para Ulama bukanlah dalil, bukan pasti benar seperti Allah dan Rasulnya. Pendapat Ulama bisa saja benar dan mendapat 2 pahala, bisa juga keliru dan (beliau pribadi) tetap mendapat 1 pahala. Bisa saja keduanya benar, keduanya keliru, atau salah satunyalah yang benar. Dimana semua pendapat Ulama akan suatu perkara, bukan berarti pasti benar, dilihat lagi sesuai situasi, kondisi, dll, mana yang paling sesuai dengan konteks, detail, presisi, menggunakan kaidah dan metode yang baik ketika mengeluarkan pendapat.
_
Misal, kita dapati kemarin :
•Ulama A, Idul Adha ikut NU, ikut pemerintah
•Ulama B, Idul Adha Ikut Saudi.
•Ulama A, dengan alasan Qiyas dengan Idul Fitri (masing masing negara menghitung hilal sendiri), kemudian keterbatasan teknologi untuk mengetahui hilal Saudi, maka menghitung hilal sendiri, alasan mengikuti Ulil Amri setempat, dan lain lain.
•Ulama B, dengan alasan bahwa hilal juga digunakan untuk menghitung masuk bulan (ibadah) haji, maka hilal yang dimaksud disini adalah hilal negara yang mengadakan ibadah haji, bukan hilal sendiri sendiri. Adapun kini jelas ada keterbukaan informasi dimana diketahui perhitungan hilal untuk kapan masuk 1 Dzulhijah (masuk bulan haji), kapan tanggal 9 Dzulhijah, kapan ibadah wukuf, kapan hari puasa arafah, kapan Hari Raya Idul Fitri, maka tidak perlu menghitung hilal masing masing.
Maka terhadap perbedaan pendapat dari Ahli Ilmu, Alim, Ulama yang demikian, bukan berarti kedua duanya adalah benar, melainkan bisa jadi kedua duanya salah, atau salah satunya yang benar, dan kita memilih satu pendapat yang paling rajih dan presisi, misal dalam hal ini pendapat Ulama B, yaitu Idul Adha ikut dengan hilal dari negara yang melaksanakan ibadah Haji.
*************************
Dilengkapkan lagi satu argumen yang sangat kuat yaitu :
“Ketika ada perbedaan pendapat (Ulama), tidak lantas kemudian membenarkan semuanya pendapat, karena tentu akan menyulitkan melakukan kedua (pendapat) secara bersamaan, melainkan pilih salah satu yang rajih”.
Bayangkan, bagaimana caranya shalat tahajud dilakukan sirr dan jahr dalam waktu yang bersamaan, qunut dan tidak qunut diwaktu yang bersamaan, puasa arafah 2x ikut Saudi dan ikut Indonesia, Idul Adha, Shalat Ied 2x hari ini, dan juga sekaligus besoknya?
Tentu malah menjadi sulit kaidah membenarkan semua pendapat Ulama seperti ini, melainkan pilih satu pendapat Ulama yang paling rajih dalam hal, konteks, situasi kondisi, waktu, detail dan lengkapnya bayan, dan metode pengambilan pendapat, pada suatu perkara tersebut.
_
Untuk urusan syariat ini, cukuplah beriman, kita imani, percaya dan amalkan, tidak perlu mikir, menggunakan pikiran, akal, atau pun logika, (karena tidak semua dalam agama ini bisa diterima pikiran, melainkan iman), tidak pula perlu berpendapat didalam agama ini. Adapun jika kita mau berpendapat didalam agama ini, pastikan dahulu, kita berilmu.
..Wallahu a’lam..