Apakah kamu tahu, bahwa berpikir itu ada caranya, logika itu ada kerangkanya? Mari kita bahas secara versi singkat dan ringan.
Kita ambil sebagai sampel, cara berpikir dari salah satu pejabat (anggota DPR), tentang akar logika “Gerbong kereta khusus untuk tempat merokok”.
Premis yang dipakai :
* Penumpang bosan
* Penumpang butuh ruang merokok
* Analogi dengan penumpang bus
* Kalau ada gerbong rokok, nyaman
* Kalau ada gerbong rokok, tambah pemasukan
Cara berpikirnya :
* Asumsi masalah : bosan di perjalanan
* Solusi yang ditawarkan : rokok
* Konsekuensi yang dibayangkan : kenyamanan dan keuntungan finansial
Kesalahan Logika :
* False Cause (sebab akibat keliru)
Bosan di perjalanan tidak otomatis diselesaikan dengan rokok. Seharusnya dimasukkan variabel lainnya, ada banyak penyelesaian lain, semisal WI-FI, netflix, streaming, dll.
* False Analogy (analogi keliru)
Membandingkan kereta dengan bus, tidak “apple to apple”, ada perbedaan rute, kecepatan, ruangan, regulasi dan lain sebagainya. Dimana seharusnya perbandingan yang ideal antara kereta dengan kereta.
* Ignoring Harm (pengabaian dampak berbahaya)
Rokok memiliki externality besar, finansial, kebersihan, kesehatan, keselamatan, yang mana itu “di-skip” atau “slip” di dalam logikanya.
* Partial Benefit (keuntungan sebagian namun kerugian pada bagian yang lain, atau untung pada jangka pendek (scoop kecil) namun rugi pada jangka panjang (scoop besar)).
Fokusnya seakan pada pemasukan KAI, padahal keinginan perokok untuk merokok di kereta. Dimana fokus utama yang sebenarnya adalah kenyamanan, keselamatan, kesehatan, ekonomi finansial dan keuntungan secara umum.
* Shifting Comfort (kenyamanan sebagian dianggap kenyamanan semua)
Dimana yang nyaman di sini hanya perokok, sementara non-perokok terganggu, terancam keselamatan, impact kerugian umum lebih besar.
Logic Conclusion :
* Masalah -> pilih solusi yang menguntungkan sebagian -> klaim sebagai keuntungan semua.
Logic Should Be :
* Masalah -> pilih solusi yang benar -> aman, efisien, inklusif, benefit luas dan tidak merugikan pihak lain secara umum ataupun khusus.
______
Disclaimer : Perlu diketahui dan perlu dibedakan, bahwa pembahasan ini tidak bermaksud mengkritik tokoh (pejabat) secara pribadi (self), melainkan contoh kritik terhadap kerangka pikir (idea).
********************
Dari sini kita tau, bahwa berpikir butuh kerangka, bahwa ada landasan dalam berlogika, yang mana kemudian itu tercermin dari perkataan, yang sangat penting memahami konteks secara objektif, untuk menghindarkan diri dari kekeliruan berpikir, ketiadaan kerangka logika atau cacat logika (logical fallacy).
Dari sini kita tau, seseorang yang berpikir butuh kerangka, seseorang yang berlogika butuh landasan, yang kemudian bisa terbangun diatasnya argumen yang tepat, hasil yang akurat, terlebih solusi untuk permasalahan banyak umat.
Dari sini kita tau, bahwa “tokoh publik” (tertentu), bukanlah jaminan memiliki kerangka berpikir yang benar, banyak di antaranya didapati kesalahan dalam berpikir, cacat logika, mereka bicara berdasarkan asumsi, bukan argumentasi yang memiliki landasan kuat.
Dari sini kita tau, bahwa dalam rangka agama, seorang “tokoh agama” bukanlah jaminan memiliki kerangka berpikir dan landasan logika yang benar, banyak di antara mereka didapati kesalahan dalam berpikir, cacat logika, bangunan pemahaman yang tidak memiliki kerangka, mereka kemudian berbicara (ceramah/khotbah) berdasarkan asumsi, pikiran pribadi, pemahamannya sendiri yang relatif dengan keuntungan individu atau kepentingan kelompok tertentu dengan membawa narasi agama, bukan argumentasi yang terbangun dari landasan Al-Quran dan As-Sunnah sebagaimana yang dipahami Rasul shallallahu alaihi wasallam dan para sahabat, yang mana ini tentu sangat membahayakan bagi umat.
Dari sini semoga kita tau, bahwa kita bukan sedang membicarakan “tokoh” tertentu, bukan sedang membicarakan “kereta”, bukan sedang membicarakan “rokok”, namun sedang mempelajari cara dan kerangka berpikir, memahami landasan berlogika, berhati-hati dalam argumentasi, serta agar mampu mendeteksi kesalahan argumentasi dari “tokoh” tertentu yang kadang cacat ide, cacat logika, demi menghindari pemahaman logika yang keliru atau “logical fallacy”, terlebih pada perkara-perkara akhirat.
..Wallahu a’lam..
"Seseorang yang merasa dirinya bebas melakukan apa saja, sebenarnya hanyalah seorang budak dari hawa nafsunya.”
Banyak di antara kita meyakini bahwa bisa melakukan apa saja yang diinginkannya adalah kebebasan. Benarkah demikian?
Banyak di antara kita meyakini jika seseorang mampu menuruti semua hasrat dan keinginannya adalah orang yang bebas. Benarkah demikian?
_____
Ada orang yang bisa “bebas” belanja apapun yang diinginkannya, dia tidak berdaya, beli semua, borong semua, padahal dia adalah budak dari hawa nafsunya sendiri.
Ada orang yang bisa “bebas” marah-marah, meluapkan emosinya ke siapa saja, tidak bisa lepas dari amarah, sekali tersulut, langsung terbakar, hancur semua, padahal dia adalah budak dari hawa nafsunya sendiri.
Contoh lain : alkohol, ganja, narkoba, judi online, video porno, PMO, prostitusi, gadget, medsos dan sebagainya.
Seseorang yang demikian, hanyalah budak dari hawa nafsunya sendiri, seseorang itu bahkan belum merdeka dari dirinya sendiri, seseorang itu bahkan masih dibelenggu oleh dirinya sendiri.
Mereka yang merasa bisa melakukan apa saja yang disukainya (tanpa pagar) adalah kebebasan, padahal sebenarnya mereka diikat rantai belenggu yang tidak terlihat.
*************************
Kebebasan adalah saat seseorang bisa mengendalikan dirinya, adalah saat seseorang mampu mengendalikan hawa nafsunya. Karena kebebasan bukanlah berarti bebas melakukan apa saja yang dikehendakinya.
“Tidak seorang pun bebas, ketika dia masih menjadi budak dari hawa nafsu dirinya sendiri.”
“Semakin seseorang bisa mengambil kendali atas dirinya sendiri, semakin seseorang itu orang yang bebas.”
“Bebas, bukan berarti bisa melakukan semua yang kamu mau, tetapi mampu menguasai dirimu.”
“Kebebasan bukanlah saat seseorang bebas melakukan apa yang dia pikir itu baik. Melainkan kebebasan adalah saat seseorang mampu mengendalikan dirinya berada dalam koridor kebenaran dan dia berbuat baik di dalamnya.”
*************************
Betapa banyak yang merasa dirinya bebas, padahal sebenarnya dia dibelenggu rantai yang tidak terlihat dari hawa nafsunya sendiri.
Betapa banyak yang merasa bebas mengklaim dirinya baik, padahal sebenarnya klaim itu menyelimutinya dari kebenaran.
Betapa banyak yang merasa dirinya benar, padahal sejatinya kebenaran itu bukanlah kebebasan melakukan apa yang dia pikir itu baik.
_____
Betapa banyak yang merasa dirinya beragama Islam, tetapi sejatinya dia tidak mampu menundukkan dirinya dihadapan Tuhan-nya.
Betapa banyak yang merasa dirinya muslim, tetapi anehnya dia bahkan tidak mampu mendudukkan dirinya sebagai seorang muslim.
Betapa banyak yang merasa dirinya Ahlussunnah, tetapi anehnya dia merasa dirinya benar dalam pemahaman-pemahaman bid’ah dan bebas melakukan amalan-amalan bid’ah.
Betapa banyak yang merasa dirinya Salafi, yaitu mengikuti pemahaman beragamanya Rasul shallalahu alaihi wasallam dan para sahabat, tetapi anehnya mereka sururi —alias tunduk pada pemahaman Syaikh Surur—, mereka Ikhwani, mereka Hizbi, —alias tunduk pada pemahaman kelompok-kelompok di mana mereka bernaung—, dia Haroki, —alias mereka tunduk dan ikut dalam pergerakan-pergerakan yang tidak ada di dalam Islam—.
Padahal Islam artinya (bebas) menundukkan dirinya kepada Allah, padahal Muslim artinya penduduk (bebas) di Surga, padahal Ahlussunnah artinya memahami sunnah, padahal Salafi artinya seseorang yang (bebas) dalam bermuamalah dan beribadah, mampu mengendalikan dirinya berada di dalam pagar pedoman Al Quran dan As Sunnah yang dipahami Rasul shallallahu alaihi wasallam dan para sahabat.
..Wallahu a’lam..
“50% dari kehidupan, ditentukan dari hal yang “random” atau acak, yaitu di titik “koordinat” mana kamu dilahirkan.”
Dalam neuroscience, bayi yang lahir, ibarat hardware yang kosong, memiliki otak yang plastis, mampu memelar ke arah manapun, mampu menyerap informasi apapun.
Bagi yang lahir di Hutan, input ke otaknya adalah tumbuhan, pohon, binatang, alam. Bagi yang lain misal lahir di Tokyo, input ke otaknya adalah neon, lampu, gedung, teknologi, hipersosial. Sensor itu masuk mempengaruhi lifelong pattern atau pondasi hidup jangka panjang bagi mereka.
_____
Dalam neuroeconomics, peluang seseorang kaya atau miskin, 50% tergantung pada titik “koordinat” dimana ia dilahirkan, jika ditabrakkan dengan IQ murni.
Bagi yang memiliki otak jenius, namun lahir di zona perang, akses makanan dan air bersih sulit, pendidikan dan teknologi adalah nol, maka IQ tidak berguna, otak akan menginstal kesulitan sebagai penghantar hanya sekadar untuk bisa bertahan hidup.
Bagi yang memiliki otak biasa-biasa saja, namun lahir di negara maju, negara makmur, maka otak akan menginstal kemudahan yang mengantarkannya kepada kehidupan dengan level ekonomi hidup yang baik.
_____
Dalam neurospiritual, pemahaman agama seseorang dan keyakinan yang dipilihnya, 50% tergantung titik “koordinat” dia berada.
Bagi yang koordinatnya di negara Muslim, sangat berpengaruh seseorang akan menjadi muslim. Bagi yang koordinatnya di negara non-Muslim, maka akan besar pengaruhnya seseorang akan menjadi non-Muslim.
Bagi yang “koordinat”-nya di lingkungan hizbi, haroki, sururi, ikhwani, sangat berpotensi menjadikannya demikian. Bagi yang “koordinat”-nya berpemahaman salaf, maka sangat berkemungkinan menjadikannya demikian.
*************************
Dalam neuropsychology, otak manusia cenderung bias, mereka membangun narasi, mereka merasa rajin padahal malas, mereka merasa hemat padahal boros, merasa dermawan padahal pelit, merasa zuhud padahal sombong, seseorang merasa benar padahal apa yang dipahaminya salah, seseorang merasa dirinya bisa “sukses” karena kerja keras, padahal data dan fakta menunjukkan kesuksesan seseorang dipengaruhi “koordinat” di mana seseorang tersebut “lahir”, yang mana secara dominan jauh lebih menentukan.
Seseorang lahir dan tumbuh di tempat dan zaman yang tidak bisa dipilihnya, tetapi itu menjadi default apps yang sudah diinstal di dalam otak seseorang, kemudian itu menjadi kanvas dasar dari keseluruhan gambaran hidup seseorang.
_____
Bagi mereka di “koordinat” negara yang maju; negara dengan ekonomi baik; orang tua yang makmur; pendidikan tinggi dan bimbingan yang benar; lingkungan SDM yang baik; pergaulan dengan pemahaman beragama yang benar, maka ini adalah privilege. Selamat bagi kalian!
Bagi mereka di “koordinat” sebaliknya, maka mereka sangat perlu pindah tempat, perlu perjuangan keras, perlu usaha lebih besar, demi mendapati kualitas hidup dan kehidupan akhir yang baik. Selamat berjuang bagi kalian!
_____
Usaha, semangat, pikiran positif, dan keputusan individu untuk hidupnya itu tetap penting, namun fakta pahitnya, semuanya berjalan di dalam batas “koordinat” di mana seseorang “dilahirkan” atau di mana dia berada. Adapun “koordinat” di mana seseorang “lahir” di mana dia berada; di negara mana; keturunan siapa; level ekonomi apa, pendidikan apa; kondisi fisik seperti apa; dan apapun ujian dalam hidupnya, bukanlah terjadi secara “random” atau acak.
Melainkan bagi orang-orang yang beriman meyakini dan memahami, bahwa itu adalah bagian dari perjanjian yang diketahui dan telah disepakati dengan Allah semasa di alam ruh, yaitu tentang di “koordinat” mana kita berada, yaitu tentang apa jenis ujian apa yang akan dihadapi di dunia.
Di mana seseorang yang sukses melewati ujiannya akan memiliki kedudukan lebih mulia dari malaikat dan dimasukkan ke dalam Surga, di mana seseorang yang gagal melewati ujiannya akan lebih rendah dari binatang, memiliki derajat lebih hina dari Iblis dan akan selamanya bertempat di Neraka.
..Wallahu a’lam..
“Apa boleh buat, kita lahir, tinggal, dan hidup di Indonesia”. Ini adalah satire, dimana pernyataan seperti ini atau yang sejenis, bukanlah bermakna negatif atau kebencian, melainkan bermakna positif di dalamnya atau memiliki makna kepedulian dan kecintaan.
Apa boleh buat, kita hidup di Indonesia yang rata-rata masyarakatnya memiliki kecerdasan intelektual di angka 78.49.
Apa boleh buat, kita hidup di Indonesia yang mayoritas di antaranya suka berbasa-basi, munafik, lain di depan lain di belakang, dimana kebohongan adalah bagian yang tidak terlepaskan dari keseharian.
Apa boleh buat, kita hidup di Indonesia yang mayoritas pemahaman masyarakatnya tumbuh dari mitos, dongeng, “ghibah”, cerita narasi, dibandingkan fakta atau akurasi data.
Apa boleh buat, kita hidup di Indonesia, yang mayoritas masyarakatnya tidak beruntung dalam hal pendidikan, logikanya tumbuh dari lirik-lirik lagu, menonton sinetron, menonton konten, melihat kehidupan tetangga, cerita-cerita sekunder, komentator sepak bola, juri kontes menyanyi, skrip komika, mayoritas di antara kita menjadikan sesuatu yang salah sebagai tolak ukur, disaat kebodohan dan kebohongan dirancang masuk ke dalam kurikulum informasi yang kemudian disuapi masuk ke dalam mulut-mulut sebagian besar dari masyarakat kita
Apa boleh buat, kita hidup di Indonesia, yang mayoritas di antara kita tidak beruntung memiliki kesempatan membaca tulisan-tulisan para pemikir, buah karya akademisi, tidak mengetahui teori persamaan, tidak membaca tesis-disertasi, jurnal ilmiah, fakta ilmiah, kitab-kitab landasan cara berpikir, kitab-kitab pedoman ilmu pengetahuan dan lain sebagainya.
Apa boleh buat, kita hidup di Indonesia, yang mayoritas masyarakatnya berdiri di atas definisi bahwa kebenaran bukanlah yang utama, mereka lebih memilih cerita narasi dibanding fakta yang berakurasi, mereka lebih memilih “Social Harmony” dibanding “Harmony by Truth”, mereka lebih memilih keselarasan sosial walau harus dengan memelihara kebohongan, dibandingkan hidup berpegang kebenaran.
_____
Apa boleh buat, kita dapati masyarakat kita yang lebih termakan narasi dibandingkan berpegang kepada bukti, lebih percaya ghibah, dibandingkan mendengar seseorang yang mendakwahkan aqidah.
Apa boleh buat, kita dapati masyarakat kita, yang lebih suka cerita dongeng, bid’ah, kurafat, ikut budaya sesat, dibanding mempelajari tauhid yaitu kebenaran absolut, sebagaimana yang dipahami Rasul shallallahu alaihi wasallam dan para sahabat.
************************
Seseorang yang lembut menyampaikan narasi optimis, tidak selalu berujung pada garis finish yang positif, melainkan banyak di antara mereka hanya bertujuan mencari keselarasan kelompok atau “Social Harmony”.
Seseorang yang bernarasi sinis, bukan selalu kemudian diasumsikan apatis atau negatif. Melainkan satire, ungkapan kebalikan yang bermakna kejujuran, kepedulian dan kecintaan, yang bertujuan kepada “Harmony By Truth”.
_____
Seseorang yang bersendirian, atau kumpulan yang sedikit namun berpegang kepada akurasi dan kebenaran, lebih benar dari keramaian yang asyik berkumpul mendengarkan narasi kekeliruan.
Seseorang yang bersendirian, atau kumpulan yang sedikit namun mempelajari dan memahami tauhid serta aqidah dengan benar, lebih benar dari keramaian yang termakan narasi bohong, yang terdistraksi karena terfitnah cerita ghibah.
..Wallahu a’lam..
Betul, terbukti secara kecerdasan akal dan keimanan bahwa kita harus meyakini adanya alam ghaib (tak kasat mata), salah satunya dikarenakan dalil dari Allah Azza wa Jalla Dzat Yang Maha Benar, dan Rasul-Nya yang terbukti tidak pernah sekalipun berbohong, menjelaskan hal-hal demikian. Di mana memahami dengan benar maka akan disebut “beriman”.
Namun, mempercayai hal “supranatural” namun memahaminya dengan keliru karena kebodohan, bisa menyebabkan seseorang jatuh kepada kesyirikan. Mempercayai orang, makhluk, benda, ritual tertentu. Di mana pemahaman yang keliru karena kebodohan menjerumuskan seseorang kepada yang disebut “kesyirikan”.
Gedung lantai 13 adalah kesialan, nomor “4” adalah kematian, santet / teluh ketika sakit hati, patung kucing pemanggil rezeki, tawasul kepada orang mati, percaya kepada benda mati (jimat) yang bisa membawa keberuntungan, ritual pawang hujan, ritual dengan keyakinan supranatural lainnya dan sebagainya. Di mana mempercayai yang demikian bukanlah bentuk dari keimanan, melainkan output dari kebodohan yaitu kesyirikan.
_____
Padahal, belajar bisa menyebabkan seseorang beriman, melepaskan diri dari kebodohan dan kesyirikan.
Padahal, bagaimana cara kita menentukan sebuah klaim “ghaib” atau “supranatural” ada caranya, ilmunya, metodenya yaitu : probabilitas, yang kemudian akan membuat kita memahami mana yang bisa dipercaya atau diimani dan mana yang tidak bisa dipercaya atau masuk ke dalam kesyirikan.
Di mana, berapa besar kemungkinan hipotesa “supranatural” itu benar melihat dari bukti-bukti yang ada. Dengan cara mencari persamaan dari kemungkinan hipotesa “supranatural” yang dikalikan probabilitas karena hipotesanya benar, dibagi probabilitas realitas yang tetap terjadi walaupun hipotesanya salah.
Di mana, kebanyakan dari masyarakat kita, terkhusus kaum muslimin, melihat realitas “supranatural”, kemudian langsung otomatis menyatakan itu benar, mempercayai itu benar, dan meyakini itu benar. Di mana, padahal belum dimasukkan ke dalam persamaan :
1. Apakah realitas tetap terjadi tanpa hipotesa “supranatural”?
2. Apakah realitas tetap terjadi ketika hipotesa “supranatural”nya salah?
3. Apakah realitasnya tidak terjadi ketika hipotesa “supranatural”nya benar?
Dengan persamaan P(A) = n(A) / n(S)
Di mana :
* P(A) = Peluang suatu kejadian “A”
* n(A) = Banyak kejadian diinginkan
* n(S) = Banyak total jumlah sampel
Di mana, secara sains hal ini bisa diuji, tidak hanya sekali, namun berkali-kali, untuk mencari konsistensi dari hipotesa “supranatural” tersebut. Misal : suatu klaim yang diuji dan ternyata benar maka persentasenya menjadi 100% benar, kemudian diuji lagi dan ternyata salah maka persentasenya turun menjadi 50%, atau diuji dua kali dan kedua-duanya salah, atau diuji hanya 1x namun salah, maka persentasenya menjadi 100% salah (atau 0% benar).
Di mana, idealnya hal seperti ini harusnya diajarkan, dijelaskan, kepada orang-orang awam terkhusus kaum muslimin, untuk memahamkan bahwa klaim “supranatural” itu tidak kredibel secara saintifik. Di mana dari segi matematis sebetulnya kita punya alat untuk berpikir, menganalisa, apakah ini keimanan ataukah kesyirikan.
*************************
Dari sini bisa ditarik sebagai kesimpulan adalah belajar, mengajar, dengan ilmu, metode, alat ukur yang benar, bisa membuat seseorang pintar, cerdas, dan beriman. Sebaliknya, seseorang yang bodoh, tidak belajar, tidak diajari dengan ilmu, metode, alat ukur yang benar, bisa membuat seseorang terjerumus ke dalam kesyirikan.
..Wallahu a’lam..
“Gosip, 75% isinya adalah kebohongan, sedangkan 25% isinya adalah kebenaran.” -TY-
Atau lebih dalam bisa diartikan dan bisa dipahami bahwa, sesuatu yang berkonotasi negatif cenderung lebih disukai dibandingkan sesuatu yang berkonotasi positif.
Orang-orang pada umumnya lebih suka membicarakan atau mendengar kebohongan, karena hal itu terasa menarik, sedangkan kebenaran tidak begitu jadi bahasan perbincangan karena hal itu tidaklah menarik.
Contoh :
> “Si A, rumah tangganya baik-baik saja”, hal ini tidak menarik untuk diceritakan atau didengar, karena terasa biasa saja dan tidak menarik.
> “Si A, dengar-dengar mau bercerai dengan istrinya”, hal ini terasa menarik untuk didengar dan diperbincangkan, karena sekali lagi terasa amat menarik.
_____
Dikenali juga dalam “hukum jurnalistik” atau pemberitaan, yaitu istilah : “Bad News Is A Good News”, bahkan lebih jauh lagi yaitu istilah : “Bad News Is A Good Business”.
Karena, “Good News” tidak bisa dibisniskan, karena tidak ada yang mau mendengar “Good News". Karena yang bisa dibuat bisnis adalah “Bad News”, karena yang mau didengar lebih banyak orang adalah “Bad News”.
*************************
Hal ini juga paralel terjadi di dunia dakwah, dalam lingkup agama. Di mana orang-orang pada umumnya lebih suka membicarakan atau mendengar kebohongan, karena hal itu terasa menarik, sedangkan kebenaran tidak begitu jadi bahasan perbincangan karena tidaklah menarik.
Contoh :
> Majelis, kajian, dakwah yang membahas Tauhid, Aqidah yang benar, yang jujur, tidak begitu diminati, sepi, karena tidak menarik.
> Majelis, kajian, dakwah yang membahas kurafat, bid’ah, cerita dongeng, pacaran, cinta-cintaan, dongeng rumah tangga, dongeng cerita bisnis usaha bisa cepat kaya raya, amalan tanpa tuntunan, membicarakan Kaum Muslimin lain, menyalah-nyalahkan Kaum Muslimin lain walau itu belum tentu benar, Ustadz “zaman now” yang mengaku berpemahaman zaman salaf, bisa berfatwa sebagaimana Ulama Salaf, walau itu salah, dusta, bohong, namun itulah yang diminati, ramai, karena terasa amat menarik.
_____
Dikenali juga istilah dalam dunia dakwah, yaitu: “Bad Topics Is A Good Topics”, bahkan lebih jauh, yaitu: “Bad News Is A Good Business”.
Karena, “Good Topics” dalam dakwah tidak bisa dibisniskan, tidak ada yang mau mendengar “Good Topics". Karena yang bisa dibuat bisnis adalah “Bad Topics”, yang mau didengar orang-orang bodoh adalah “Bad Topics”.
_____
Sebagaimana dakwah Nabi shallallahu alaihi wasallam yaitu: Dakwah Tauhid, Aqidah, yang benar, yang jujur, tidak disukai bahkan dibenci kaumnya sendiri. Beliau dijauhi, dimusuhi, dicaci, dimaki, dituduh pembohong, difitnah, dilabeli tukang sihir.
Sebagaimana dakwah para ustadz yang mendakwahkan Tauhid, Aqidah, yang benar, yang jujur, pada hari ini tidak terasa menarik, sepi, tidak disukai, bahkan dibenci, dimusuhi, dituduh, bahkan difitnah. Maka bersyukurlah, jika kamu termasuk orang-orang yang berada di dalam majelis seperti ini.
Sebaliknya dakwah para ustadz yang menyimpang, dakwah yang dusta, bohong, sangat menarik, ramai, penuh, mendapati tempat di hati masyarakat. Maka berhati-hatilah, jika kamu termasuk orang-orang yang berada di dalam majelis seperti ini.
*************************
Orang yang jujur, orang yang baik, orang yang benar, belum tentu banyak temannya. Sebagaimana ustadz yang jujur, yang baik, yang benar, belum tentu banyak jamaahnya.
Orang yang pembohong, orang yang jahat, orang yang keliru, tetapi kalau menghasilkan keuntungan, mendatangkan keuntungan, maka banyak temannya. Sebagaimana ustadz yang pendusta, yang pembohong, yang bathil, yang sesat, namun bagus untuk bisnis dan mendatangkan keuntungan, maka bisa didapati banyak dan ramai jamaahnya.
..Wallahu a’lam..