Berikut akan dibagikan pengalaman secara langsung perjalanan dalam rangka mempelajari agama walaupun bahkan sampai harus ke tanah Arab, agar menjadi pengetahuan bagaimana dan apa-apa saja yang dipelajari, dialami serta kemudian menjadi pemahaman dalam rangka beragama di tanah Arab.
*************************
Di Al Azhar Mesir, kelasnya sangat besar seperti auditorium, mampu menampung hingga ratusan orang, di awal semester biasanya kelas tidak muat menampung seluruh mahasiswa, dosen yang mengajar suaranya sering tidak terdengar bahkan setelah memakai bantuan mikrofon. Di sini, tidak dikenali sistem tugas-tugas yang rumit atau PR, tidak dikenali sistem absensi, di mana seandainya seseorang tidak hadir satu semester penuh namun mampu mengerjakan soal-soal ujian akhir, maka seseorang bisa lulus pada semester itu.
Di Universitas Madinah, kelasnya kecil-kecil seperti di Indonesia, yang maksimal hanya mampu menampung kurang lebih 30-40 orang. Di sini tugas sangat banyak, PR, hafalan, tugas kelompok dan lainnya, absen juga sangat ketat, jika lebih dari seperempat waktu (25%) tidak menghadiri pembelajaran di kelas, maka dipastikan tidak bisa mengikuti ujian akhir semester dan harus mengulangnya.
_____
Di Al Azhar Mesir, secara manhaj menggunakan rujukan kitab “Al Qoulus Sadid”, dan dalam fiqh dibedakan kelas-kelas berdasarkan mazhab negara asalnya. Sebagian yang bermazhab Syafi’i menggunakan rujukan kitab “Kansurraghibin”, namun juga menggunakan rujukan kitab “Muqoron” untuk fiqh perbandingan mazhab.
Di Universitas Madinah, menggunakan kitab “Al Aqidah Washitiyyah” dalam hal aqidah, serta kitab “Umdatul Fiqh” (Hambali) sebagai rujukan ilmu fiqh. Pada semester setelahnya akan dipergunakan kitab “Bidayatul Mujtahid” untuk perbandingan mazhab, dan yang belajar fiqh akan menggunakan kitab “Muharror” yaitu sebuah kitab Hadits, namun banyak berkaitan dengan hukum-hukum fiqh.
_____
Di Al Azhar Mesir, kita “dipaksa” mandiri, semua ditanggung sendiri, mulai asrama, makan, jajan, penginapan, perjalanan dan lainnya. Banyak bangunan-bangunan dan fasilitas yang tua, terasa membuat seakan suasana klasik (negeri Arab).
Di Universitas Madinah, para penuntut ilmu di sini “dimanja” dengan banyaknya fasilitas yang disediakan dan diberikan secara cuma-cuma. Tiket, asrama tinggal, makan, uang saku, uang buku, uang kuliah dan lainnya ditanggung terlebih yang berprestasi serta banyak beasiswa-beasiswa lainnya. Banyak bangunan baru yang megah dan mewah yang membuat suasana terasa futuristik.
_____
Di Al Azhar Mesir, mereka berdiri sejak tahun 972 Masehi, sedangkan di Universitas Madinah terpaut sangat jauh yang mana mereka baru berdiri tahun 1961 Masehi. Jangan heran kalau pengajar dan metode pengajaran di Universitas Madinah masih terafiliasi dengan metode atau manhaj yang dipakai di Al Azhar, karena tidak jarang pendahulu di Universitas Madinah adalah mantan tokoh-tokoh yang belajar di Al Azhar.
_____
Di Al Azhar Mesir, suasananya mirip dengan Indonesia, keramahan warga dan lainnya serasa di rumah sendiri, sangat mudah bergaul, cocok bagi yang berjiwa ekstrovert. Harga-harga juga cenderung murah, sebagaimana di Indonesia.
Di Universitas Madinah, suasananya lebih seperti berlibur, berkelompok-kelompok sesuai asal, cocok juga untuk para introvert, penyendiri. Harga-harga di sini cenderung mahal, semisal secangkir kopi yang harganya bisa berkisar 20-25 riyal atau sekitar 100.000 rupiah.
*************************
Ternyata, bahkan sampai di tanah Arab, tidak benar semua universitas di sana mengajarkan perihal ilmu agama, tidak semua mahasiswa di sana belajar agama atau bahkan kemudian dianggap paham agama. Mayoritas fakultasnya fokus dengan ilmu dunia, ilmu ekonomi, teknologi, dan lainnya tentunya dengan diselingi dengan banyak mata kuliah bertema agama.
Ternyata, bahkan sampai di tanah Arab, bahkan di fakultas syariah sekalipun tidak benar bahwa yang dipelajari semuanya adalah tentang ilmu agama. Mayoritas yang dipelajari adalah ilmu alat, ilmu dunia, atau ilmu penunjangnya, seperti bahasa Arab, fiqh, sosiologi Islam, ekonomi Islam, dan lainnya. Ilmu agama itu sendiri berkaitan dengan aqidah, tauhid, manhaj, juga tidak dipelajari secara sangat mendalam melainkan hanya pada permukaannya saja, sebagai pemahaman beragama saja, di mana itu pun merujuk kepada kitab-kitab baru, kitab kontemporer, karangan ulama-ulama belakangan, dengan kurikulum atau silabus yang dibuat belakangan.
Ternyata, bahkan sampai di tanah Arab, tidak jarang di Al Azhar yang disebut bermazhab Syafi’i, yang dianggap Ahlussunnah, di dalamnya banyak tokoh, ulama, ataupun dosen yang bermazhab Asy’ari dan Maturidi bahkan Mu’tazilah. Sebagaimana juga di Madinah yang dikenali bermazhab Hambali, yang dianggap Salafi, di dalamnya banyak tokoh, ulama, ataupun dosen yang bermazhab Asy’ari, Maturidi, Sururi, Ikhwani, Hizbi, Haroki, bahkan Mu’tazilah.
Ternyata, bahkan belajar sampai di tanah Arab sekalipun, tidak kemudian menjadikan seseorang mempelajari agama dan memahami agama dengan benar, sebagaimana fenomena demikian yang dipahami sebagian banyak dari kaum muslimin.
Ternyata, ilmu agama ini bukan pasti didapat karena belajar di Arab, karena berjalan hingga ke Arab, bukan di kampus-kampus negara Arab, bukan di fakultas atau jurusan agama, bukan di pondok-pondok pesantren, bukan dari majelis-majelis di masjid. Sebagaimana banyak orang Arab asli, kuliah di Arab, belajar di Arab, gurunya orang Arab, pondok pesantren, majelis, namun jahil, menyimpang dan sesat.
Melainkan, ilmu agama ini didapat karena hidayah Allah saja, asbab Allah yang memberi hidayah, bagi orang-orang yang berniat dan berharap wajah Allah saja. Bukan karena niat lain, bukan karena sekadar ingin jadi ustadz, bukan sekadar ingin jadi penceramah, ingin dianggap alim oleh wajah-wajah manusia. Sebagaimana banyak kita dapati ulama, ustadz, kyai, dai, yang fasih bahasa Arab, yang lulusan Arab, yang gurunya orang Arab, namun jahil, menyimpang, sesat, jauh melesat dari manhaj Salafi, jauh melesat dari pemahaman beragama Nabi shallallahu alaihi wasallam dan Para Sahabat.
*************************
Ternyata, yang asli orang Arab, yang sudah pergi sampai ke tanah Arab, tinggal di Arab, fasih berbahasa Arab, bukanlah jaminan seseorang memiliki pemahaman agama ini dengan benar.
Ternyata Abu Jahal, Abu Lahab, Abi Thalib, Abdullah bin Saba’ (Syiah), Ma’bad Al Juhani (Qadariyah), Wasil bin ‘Atha (Mu’tazilah), Imam Ghazali (Tasawuf), Imam Asy’ari (Asy'ariah), Imam Maturidi (Maturidiyah), dan lainnya yang fasih berbahasa Arab, yang pernah ke Arab, tidaklah menjadi jaminan memiliki pemahaman agama ini dengan benar.
Ternyata, untuk memahami ilmu agama tidak perlu sampai harus ke tanah Arab, tidak perlu berjalan hingga ke tanah Arab, tidak harus pandai berbicara dengan berbahasa Arab.
Ternyata, Imam Bukhari rahimahullah sekalipun, pemilik kitab tershahih buatan manusia (diluar Al Quran), bukanlah orang Arab, tidak fasih berbahasa Arab, bahkan kitab (orisinil) yang ditulisnya bukan berbahasa Arab, melainkan berbahasa Bukhara, sekarang disebut Uzbekistan.
Ternyata, seseorang yang bukan orang Arab, tidak bisa berbahasa Arab, tidak pernah ke tanah Arab, bisa saja memiliki pemahaman agama ini dengan benar.
Ternyata, sebaliknya kita dapati fakta, belajar hingga ke tanah Arab, sekolah atau kuliah di negeri-negeri Arab, fasih berbahasa Arab, sampai ke Indonesia malah menjadi tokoh khawarij (tokoh demo) tokoh qodariyah, tokoh mu’tazilah, tokoh asy’ari, tokoh ikhwani, tokoh haroki, tokoh hizbi, tokoh sururi.
_____
Merupakan kabar buruk, bagi yang merasa orang Arab, pernah ke Arab, belajar hingga di tanah Arab, fasih berbahasa Arab, jangan berbesar hati, melainkan berhati-hatilah, karena hal demikian itu bukan jaminan seseorang lantas memiliki pemahaman beragama dengan benar.
Merupakan kabar gembira, bagi kita yang bukan orang Arab, mungkin belum pernah ke Arab, belum pernah belajar di tanah Arab, tidak pernah kuliah di Arab, tidak fasih berbahasa Arab, janganlah berkecil hati, melainkan optimislah, karena hal demikan itu bukanlah jaminan seseorang tidak bisa memiliki pemahaman beragama yang benar,
______
Ternyata, dalam rangka memiliki pemahaman agama yang benar, tidak harus sampai ke tanah Arab, tidak harus berjalan bahkan hingga ke Arab, tidak wajib di negara-negara Arab, tidak perlu berguru dengan asli orang Arab, tidak pula harus menjadi seseorang yang bekerja sebagai Ustadz.
Ternyata, dalam rangka memiliki pemahaman agama yang benar, cukuplah dengan mempelajari agama ini dari alim ulama, dari ahli Ilmu (agama), dari Ustadz, dari Guru, dengan bimbingan dari seseorang yang memiliki pemahaman beragama yang benar, bertauhid, memiliki aqidah dan manhaj yang benar, yang tersambung tegak lurus sanad ilmunya sampai ke Nabi shallallahu alaihi wasallam, yang mana mereka juga menguasai ilmu-ilmu alat lain, sebagai penunjangnya. Dengan sungguh-sungguh, dengan ikhlas, dengan ikhtiar yang besar, dengan perjuangan dan pengorbanan yang tinggi, dengan istiqomah, semoga Allah kemudian sudi memberi kita hidayah untuk memahami perihal agama dengan benar.
Ternyata, dalam rangka memiliki pemahaman agama yang benar, tidak perlu harus belajar dengan orang Arab, yang fasih bahasa Arab, kuliah di Arab, lulusan universitas negara-negara Arab, namun pemahamannya dalam beragama tidak benar, tidak beraqidah dengan benar, tidak bermanhaj dengan benar, tidak sibuk dengan tauhid, tidak tegak lurus dengan Alim Ulama sebelumnya, pemahamannya dalam beragama tidak bersanad (putus) sampai ke Nabi shallallahu alaihi wasallam, yang bukan berharap wajah Allah saja, yang bukan sibuk dengan kepentingan akhirat, yang sibuk dengan ilmu alat, dengan ilmu dunia, yang sibuk dengan berbagai motif dunia, yang mereka sibuk mencari simpati dari wajah para jamaahnya, di mana yang demikian ini kemudian Allah cabut dari hidayah, jauh dari pemahaman beragama yang benar, serta kemudian disesatkan oleh Allah ke arah manapun yang mereka kehendaki.
..Wallahu a’lam..
Belakangan banyak didapati Kaum Muslimin menisbatkan bahwa diri-diri mereka adalah “Salafi”, padahal Salafi adalah Rasul shallallahu alaihi wasallam dan Para Sahabat, padahal Salafi adalah memiliki pemahaman beragama dan metode beragama sebagaimana mereka, bukan sekadar pakaian atau pengakuan.
Belakangan banyak didapati Kaum Muslimin menisbatkan bahwa diri-diri mereka adalah “Salafi”, padahal Salafi itu adalah para pendahulu dalam Islam, generasi-generasi awal dalam Islam, yaitu Rasul shallallahu alaihi wasallam dan Para Sahabat, padahal yang mengaku Salafi adalah mereka yang baru belajar agama belakangan, alias sejatinya disebut “Khalaf” bukan “Salaf”.
Belakangan banyak didapati Kaum Muslimin menisbatkan bahwa diri-diri mereka adalah “Salafi”, padahal mereka tidak pernah menimba ilmu agama, memahami ilmu agama dan kemudian mengamalkannya sebagaimana para salaf. Melainkan mereka baru sekadar sesekali duduk di masjid (itupun kalau sempat), sekadar scroll-scroll media sosial (itupun sambil rebahan), menonton atau mendengar ceramah secara random tanpa sanad. Beberapa yang mengaku “Salafi” pada hari ini bahkan tidak tahu perbedaan antara ilmu agama dan ilmu alat.
Seorang Salafi tidaklah cukup hanya dengan menyatakan dirinya “Salafi” tanpa berusaha dengan sungguh-sungguh, tanpa pernah menuntut ilmu dengan pemahaman yang benar, tanpa kehadiran dan bimbingan guru-guru yang tsiqoh atau tanpa sanad.
Seorang Muslim tidaklah cukup hanya dengan menyatakan keislamannya tanpa berusaha untuk memahami Islam dan mengamalkannya. Pernyataannya harus dibuktikan dengan melaksanakan konsekuensi dari Islam. Karena itulah menuntut ilmu merupakan jalan menuju kebahagiaan yang abadi.
_____
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ.
“Menuntut ilmu itu wajib atas setiap Muslim.” (Ibnu Majah)
Imam Al Qurtubi rahimahullah menjelaskan bahwa hukum (wajib) menuntut ilmu terbagi dua:
Pertama:
Hukumnya wajib fardhu ‘ain: Yaitu menuntut ilmu tentang agama, ilmu tentang Allah, tentang tauhid, tentang aqidah, tentang Rububiyah (Penciptaan), tentang Uluhiyah (Pengibadahan) tentang shalat, zakat, puasa dan lainnya, serta tentang Asma Wa Sifat (Pengenalan Terhadap Nama-Nama dan Sifat-Sifat Allah), tentang Adab yang diajarkan oleh Allah Azza wa Jalla dan dituntunkan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam, dimana Inilah yang dimaksudkan dalam riwayat yang mana dimaksud dengan Ilmu Agama, yang dinyatakan bahwa menuntut ilmu itu (hukumnya) wajib.
Kedua:
Hukumnya fardhu kifayah: Yaitu mempelajari ilmu-ilmu pendukung dalam rangka untuk memahami ilmu agama, menuntut ilmu tentang cara membaca Al Quran, mempelajari bahasa Arab, mempelajari tentang pembagian berbagai hak dan kewajiban, tentang haq dan bathil, tentang haq dan dzalim, tentang halal-haram, pelaksanaan hukum hadd (qishas, cambuk, potong tangan dan lainnya), cara mendamaikan orang yang bersengketa, dan semisalnya.
Dengan ditambahkan penjelasan, sebab tidak mungkin semua orang dapat mempelajarinya dan apabila diwajibkan bagi setiap orang, tidak akan mungkin semua orang bisa melakukannya, atau bahkan mungkin dapat menghambat jalan hidup mereka. Karenanya, kadar Allah dan kauniyah Allah, hanya beberapa orang tertentu sajalah yang diberikan kemudahan oleh Allah dengan rahmat dan hikmah-Nya.
_____
Setiap Muslim (dan Muslimah) tentunya harus memiliki keinginan masuk Surga. Maka, jalan untuk masuk Surga adalah dengan mendapakan rahmat Allah Azza wa Jalla saja, yang mana cara mendapatkan rahmat Allah Azza wa Jalla adalah menuntut ilmu syar’i.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا، نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ، يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا، سَتَرَهُ اللهُ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ، وَاللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ، وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا، سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ، وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ، إِلَّا نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ، وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ، وَحَفَّتْهُمُ الْـمَلاَئِكَةُ، وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ، وَمَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ، لَـمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ.
“Barangsiapa yang melapangkan satu kesusahan dunia dari seorang mukmin, maka Allah melapangkan darinya satu kesusahan di hari Kiamat. Barangsiapa memudahkan (urusan) atas orang yang kesulitan (dalam masalah hutang), maka Allah memudahkan atasnya di dunia dan akhirat. Barangsiapa menutupi (aib) seorang muslim, maka Allah menutupi (aib)nya di dunia dan akhirat. Allah senantiasa menolong hamba selama hamba tersebut senantiasa menolong saudaranya. Barangsiapa yang meniti suatu jalan untuk mencari ilmu, maka Allah memudahkan untuknya jalan menuju Surga. Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu —tanah— rumah Allah (atau masjid) untuk membaca Kitabullah dan mempelajarinya di antara mereka, melainkan ketenteraman akan turun atas mereka, rahmat akan meliputi mereka, Malaikat mengelilingi mereka dan Allah menyanjung mereka di tengah para Malaikat yang berada di sisi-Nya. Barangsiapa yang lambat amalnya, maka tidak dapat dikejar dengan nasabnya.” (Muslim, Abu Dawud, Tirmizi, Ibnu Majah dan lainnya).
Di dalam hadits ini terdapat janji Allah Azza wa Jalla bahwa bagi orang-orang yang berjalan dalam rangka menuntut ilmu syar’i, maka Allah akan memudahkan jalan baginya menuju Surga. Sebaliknya, barang siapa yang tidak berusaha (bersungguh-sungguh) dalam rangka mempelajari agama, maka akan sulit baginya menemukan kebenaran.
Banyak Ulama menjelaskan tentang makna “berjalan menuntut Ilmu”, salah satunya pernah dijelaskan ulang oleh Ustadz Yazid rahimahullah, bahwa “berjalan menuntut ilmu” mempunyai dua makna.
Pertama:
Menempuh jalan dengan arti yang sebenarnya, yaitu berjalan kaki bahkan sampai ke tanah-tanah Arab, menuju majelis-majelis para ulama, para guru.
Kedua: Menempuh jalan (cara), menempuh cara atau suatu metode yang mengantarkan seseorang untuk mendapatkan ilmu syar’i, bertanya (tanya/jawab), menghafal, belajar (sungguh-sungguh), membaca, mempelajari kitab-kitab (para ulama) terkait ilmu syar’i, penelitian ilmiah, menulis, bermulazamah, mondok, menempuh pendidikan akademis dan kemudian berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memahami (apa-apa yang dipelajari) serta cara-cara lain semisalnya yang dapat mengantarkan seseorang untuk mendapatkan pemahaman ilmu syar’i dari orang-orang alim yang memiliki pemahaman tersebut.
*************************
Dalam kitab Shahih Bukhari, disebutkan riwayat dari Yahya Bin Katsir, beliau menasehatkan:
"Bahwa ilmu tidak bisa dikuasai hanya dengan santai dan ongkang-ongkang kaki."
Lantas bagaimana saat ini, kita dapati belakangan, sebagian orang-orang mengaku “Salafi” mengaku bermanhaj salaf, menisbatkan diri-diri mereka sebagai seorang “Salafi”, padahal mereka santai dan ongkang-ongkang kaki, mereka tidak bersungguh-sungguh dalam rangka menuntut ilmu, alias bermalas-malasan.
Lantas bagaimana saat ini, kita dapati belakangan, sebagian orang-orang mengaku “Salafi” mengaku bermanhaj salaf, menisbatkan diri-diri mereka sebagai seorang “Salafi”, padahal mereka “ngaji” hanya sesekali, padahal mereka hanya menonton medsos sambil rebahan, padahal mereka lebih sibuk “membagikan” daripada memahami dan mengamalkannya ilmu agama, padahal mereka mempelajari agama ini dari narasumber yang acak, alias “random”.
Lantas bagaimana saat ini, kita dapati belakangan, sebagian orang-orang mengaku “Salafi” mengaku bermanhaj salaf, menisbatkan diri-diri mereka sebagai seorang “Salafi”, padahal mereka bahkan tidak tahu apa itu arti, makna serta hakikat “Salafi”, padahal mereka tidak tahu perbedaan antara Salafi, Sururi, Hizbi, Haroki yang terlihat mirip bahkan penampilannya seakan persis.
Lantas bagaimana saat ini, kita dapati belakangan, sebagian orang-orang mengaku “Salafi” mengaku bermanhaj salaf, menisbatkan diri-diri mereka sebagai seorang “Salafi”, padahal mereka mengambil agama ini dari orang-orang beraqidah Asyari, Maturidi, dari orang-orang bermanhaj Sururi, Hizbi, atau Haroki, yang mereka orang-orang awam bahkan tidak bisa membedakan karena mereka terlihat mirip bahkan penampilannya seakan persis.
_____
Menuntut ilmu itu wajib, agar seseorang keluar dari hukum asal atau sifat asalnya yaitu kebodohan. Belajarlah agama dengan sungguh-sungguh, bukan hanya “sibuk” membagikannya, senantiasa berdoa meminta hidayah kepada Allah Azza wa Jalla, sampai kamu tahu dan bisa membedakan apa ilmu agama dan apa itu yang bukan ilmu agama, mana itu yang Salafi dan mana itu yang Sururi, Hizbi, atau Haroki.
..Wallahu a’lam..
Sebagian dari kita berkeyakinan bahwa Mushaf Al Quran yang kita kenali, kita baca dan kita pelajari saat ini adalah kitab yang sama yang disusun dan dibukukan oleh Tim “Qutabil Wahid” pimpinan Abu Bakar radhiallahu anhu, yang kemudian disempurnakan oleh Utsman radhiallahu anhu yang kita kenali dengan nama Al Quran “Mushaf Utsmani”.
Padahal, sebagian besar dari kaum muslimin hari ini tidak lagi bisa membaca kitab tersebut, padahal kitab tersebut sudah ditambahkan metode baru dalam penulisan (penambahan titik) pada sebagian hurufnya, padahal kitab tersebut sudah ditambahkan metode baru tanda baca (harokat) dalam penulisannya, padahal kitab tersebut sudah ditambahkan metode baru untuk memperbaiki cara membaca (tajwid dan tahsin), padahal kitab-kitab yang kita baca kini sudah ditambahkan dengan tafsiran-tafsiran belakangan, padahal mushaf Al Quran yang kita baca kini sudah diterjemahkan kedalam bahasa-bahasa asing (non Arab) dengan interpretasi dan arti dari masing-masing bahasa terjemahan, padahal mushaf yang kini kita baca bukanlah “Mushaf Utsmani”, padahal mushaf yang kita baca kini sebagian besarnya bukanlah Mushaf Al Quran sebagaimana yang diturunkan Allah Azza wa Jalla dan dipahami oleh Nabi shallalahu alaihi wasallam dan Para Sahabatnya.
Padahal, Al Quran yang kita kenali, kita baca, dan kita pelajari pada hari ini adalah Al Quran “konsensus” alias “kesepakatan mayoritas”, yang dibuat, disusun ulang, kemudian dicetak, di Kairo Mesir pada tahun 1923 (rilis tahun 1924), yang dibuat dengan tentunya diawali niat baik oleh kebijakan menteri dalam negeri Mesir, yang dibuat dan dimaksudkan agar tidak membingungkan kemudian menjadi Al Quran "standar” pembelajaran, menyikapi banyaknya Al Quran dengan versi yang berbeda-beda dari seluruh dunia, membuat dan menjadikannya hanya ada satu versi (berdasarkan kesepakatan), dimana Mesir pada saat itu adalah kiblat utama bagi para Alim Ulama, akademisi atau mahasiswa dalam rangka mempelajari Al Quran.
Tentu ada banyak pro dan kontra pada saat itu, tentang apa yang dimasukkan dan apa yang tidak dimasukkan, tentang versi yang dipakai dan apa yang ditinggalkan, tentang pencetakannya dimana mesinnya dibuat oleh orang-orang kafir, tentang bahan baku kertas yang dianggap najis dan lainnya. Namun, dengan niat baik dan dukungan (dana) luar biasa pemerintah Saudi saat itu, akhirnya Kairo “berhasil” membuat Al Quran “versi 1923” (rilis tahun 1924) yang menjadi Al Quran standar yang disebarluaskan untuk kaum muslimin pada saat itu hingga hari ini. Padahal, Al Quran yang kita miliki, baca, pelajari hari ini adalah Al Quran konsensus keluaran tahun 1924, bukan asli Mushaf Utsmani, melainkan “merujuk” kepada Mushaf Utsmani dengan beberapa perubahan berdasarkan konsensus.
_____
Padahal, lebih awal dikenali adanya Al Quran versi “Dumai” dari India, yang dibuat pada sekitar tahun 1880.
Padahal, lebih awal Imam Abu Dawud Al Sijistani pernah menulis kitab yaitu “Kitabul Masohif” artinya “Kitab/Mushaf yang banyak”, yang membahas tentang banyaknya “versi” Kitab Al Quran dari masa periode awal, Abu Bakar, Utsman, dan seterusnya. Di dalamnya juga dibahas tentang inisiatif Abdul Malik bin Marwan seorang khalifah kelima Bani Umayyah bersama gubernurnya yaitu Hajjaj bin Yusuf untuk membuat baru Al Quran, pada sekitar tahun 690 masehi.
Padahal Al Quran yang telah sempurna pada masa Utsman yaitu “Mushaf Utsmani” yang seharusnya dipakai hingga akhir zaman, ternyata sudah mengalami proses “editing” dan pembaruan sejak masa khalifah Abdul Malik bin Marwan, sejak masa gubernur Hajjaj bin Yusuf yang dengan kecerdasan dan pemahaman mu’tazilahnya, mereka membuat ulang Al Quran sesuai dengan pemahamannya.
_____
Disclaimer : Perlu dipahami bahwa bahasan disini bukan sedang mengkritik Al Quran atau membeberkan “Aib” Al Quran, atau menjustifikasi Al Quran tidak lagi kitab yang otentik. Tentu kita yakin sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla, bahwa Al Quran dijaga oleh Allah Azza wa Jalla sendiri. Namun yang sedang dibahas dan coba dipahamkan disini adalah sejarah perjalanan Mushaf Al Quran yang sampai pada kita, pemahaman historis tentang Mushaf Al Quran, bagaimana Mushaf Al Quran sampai kepada kita sekarang, yang mana formasinya terjadi secara gradual. Namun yang sedang dibahas dan coba dipahamkan disini bahwa sebagian besar Mushaf Al Quran yang kita miliki, baca, pelajari dan pahami saat ini bukanlah sesuai dengan Mushaf Utsmani, bukan Al Quran yang dipahami oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam, yang datang dan yang dijaga oleh Allah Azza wa Jalla, melainkan Mushaf Al Quran buatan baru, yang telah di ubah berdasarkan pemahaman baru, berdasarkan konsensus dan kesepakatan yang terjadi dan kemudian dipahami secara gradual.
*************************
Maka dari sini semoga kita semakin kritis, bahwa kita sangat amat perlu mempelajari agama dengan benar, mempelajari agama dari orang-orang dengan pemahaman beragama yang benar sebagaimana pemahaman Nabi shallallahu alaihi wasallam dan Para Sahabat.
Maka dari sini semoga kita semakin kritis, bahwa, kita sangat amat perlu mengetahui apa itu Al Quran (yang datang dari Allah), Al Quran Mushaf Utsmani (yang dipahami Para Sahabat), dan Mushaf Al Quran editan baru, buatan baru, terbitan baru yang lahir dari kesepakatan dan konsensus (yang dibuat manusia). Kita sangat amat perlu mengetahui apa itu ilmu akhirat (ilmu agama) dan apa itu ilmu dunia (ilmu alat).
_
Maka dari sini semoga kita semakin kritis, bagaimana caranya seseorang yang lulusan sebuah universitas jurusan Bahasa Arab, lantas bisa (dianggap) menjadi Ahli Al Quran (ahli ilmu agama)?
Sedangkan, ilmu bahasa Arab yang dipelajarinya adalah ilmu dunia, sedangkan ilmu Al Quran yang dipelajarinya adalah Kitab Konsensus, ilmu alat, ilmu dunia, melainkan ini bukan ilmu agama.
_
Maka dari sini semoga kita semakin kritis, bagaimana seseorang dianggap memiliki ilmu agama dengan bermanhaj salaf, sebagaimana Para Sahabat?
Sedangkan mereka mempelajari kitab konsensus cetakan belakangan, dari para akademisi yang bersepakat membuat kitab (ilmu dunia), yang ternyata berbeda jauh dari kitab Al Quran “Mushaf Utsmani” yang mana inilah ilmu agama yang dipahami Para Sahabat.
_
Maka dari sini semoga kita semakin kritis, bagaimana caranya ada cara bacaan tertentu, langgam bacaan tertentu, dimana itu dikatakan dan diakui bersanad sampai ke Rasulullah shallalahu alaihi wasallam?
Sedangkan tanda baca, ilmu bacaan dan langgam bacaan Al Quran adalah ilmu alat, ilmu dunia, yang datang belakangan jauh setelah wafatnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam?
..Wallahu a’lam..
Ketika Al Quran pertama kali diturunkan kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam dan kemudian lengkap hingga ayat terakhir, Al Quran tidaklah dalam bentuk tulisan, melainkan dalam bentuk hafalan dan pemahaman. Nabi shallallahu alaihi wasallam dan mayoritas sahabat (yang memiliki kemampuan menghafal) menghafalnya didalam kepala dan kemudian memahaminya, beberapa sahabat lain yang tidak memiliki kemampuan menghafal, menulisnya dalam lembaran-lembaran sendiri-sendiri untuk kemudian mereka mempermudah memahaminya. Namun sampai dengan Nabi shallallahu alaihi wasallam wafat, tidak ada perintah menulis Al Quran, membuat Al Quran dalam bentuk tulisan.
Note : Perlu diketahui sebuah kaidah bahwa tulisan tidak diperlukan bagi seseorang yang memiliki hafalan.
Ketika Nabi shallallahu alaihi wasallam wafat dan setelah kemudian Islam lebih berkembang, Abu Bakar radhiallahu anhu yang pada saat itu menjabat sebagai khalifah berpikir bahwa Al Quran dibutuhkan dalam bentuk tulisan, singkatnya dibentuklah sebuah tim untuk mewujudkannya yaitu Tim “Qutabil Wahid”, sebuah tim yang pertama-tama membukukan Al Quran secara resmi, beberapa nama seperti Zaid Bin Tsabit, Ubay bin Ka’ab, Muawiyah, Ibnu Mas’ud, dan lainnya, menyusunnya dalam empat versi bacaan yang didapati dan dibenarkan dari Nabi shallallahu alaihi wasallam.
Ketika telah rampung dan selesai, empat versi kitab Al Quran ini secara resmi diperbanyak dan dibagikan ke penjuru wilayah kaum muslimin sesuai versi cara baca yang dipahami mereka masing-masing. Namun, semakin lama tepatnya pada zaman kepemimpinan Utsman, bacaan-bacaan Al Quran semakin bertentangan, tidak sama, tidak seragam.
Ketika zaman kepemimpinan Utsman, beliau memutuskan untuk menarik semua kitab-kitab Al Quran, dikumpulkan dan ditulis ulang dengan satu versi saja yang resmi, yang kemudian kita kenali dengan “Mushaf Utsmani”, adapun kitab-kitab Al Quran versi selainnya, dibakar. Adapun dalam satu versi Al Quran resmi tersebut tetap membenarkan tujuh versi qiro’at.
Note : Perlu diketahui bahwa apa yang dilakukan Abu Bakar dan Utsman dengan kapasitasnya sebagai Ulil Amri adalah benar dan dibenarkan, perbuatan mereka dilindungi Hadits yang shahih dari Nabi shallallahu alaihi wasallam bahwa langkah-langkah 4 Khalifah pertama dalam Islam, terkait agama adalah dibenarkan.
*************************
Ketika kisaran tahun 59 Hijriyah, lepas dari zaman kekhalifahan Utsman yang berakhir sekitar tahun 35 Hijriyah, didapati Al Quran (Mushaf Utsmani) sulit dibaca dan dipelajari, kemudian salah seorang Alim Ulama zaman itu bernama Abul Aswad, berinisiatif membuat metode baru dalam penulisan dan cara baca Al Quran dengan penambahan titik pada beberapa huruf (ba, ta, tsa, nun, dan seterusnya) untuk membedakannya.
Ketika kisaran tahun 150 Hijriyah, setelah Islam semakin berkembang, didapati Al Quran semakin sulit dibaca oleh Kaum Muslimin belakangan, kemudian salah seorang Alim Ulama zaman itu bernama Kholil bin Ahmad, menggagas tanda baca yaitu “harokat” pada huruf-huruf Al Quran (fathah, kasrah, dhammah, tasydid, sukun, dan seterusnya) untuk memudahkan membacanya.
Ketika kisaran tahun 200 Hijriyah, setelah Islam lebih berkembang, didapati sebagian kaum muslimin sulit dan sering salah dalam melafadzkan huruf-huruf Al Quran, kemudian salah seorang Alim Ulama zaman itu bernama Abu Ubaid Qosim bin Salam, membuat metode baru untuk memperbaiki dalam membaca Al Quran yang kita kenali dengan ilmu tajwid pada huruf-huruf Al Quran (izhar, ikhfa, iqlab, qolqolah, mad lazim, mad ja'iz, dan seterusnya) untuk memudahkan membacanya.
Note : Perlu diketahui bahwa apa yang dilakukan beberapa ulama ini masih dianggap dibenarkan, karena mereka masih termasuk kedalam Alim Ulama yang masuk kedalam keumuman hadits “3 generasi terbaik” didalam Islam.
*************************
Maka diketahui bahwa pembukuan Al Quran (mushaf), penambahan titik, penambahan tanda baca (harokat), penambahan metode cara baca (tajwid dan tahsin), bukanlah ilmu yang datang dari Nabi shallallahu alaihi wasallam, bukanlah termasuk Ilmu Al Quran (memahami Al Quran), bukanlah ilmu agama. Melainkan ilmu-ilmu tersebut adalah ilmu dunia, ilmu alat, sebagai alat bantu dalam membaca Al Quran.
Maka diketahui bahwa ilmu dunia, boleh saja dipergunakan sebagai alat bantu dalam rangka membaca atau memahami Al Quran, boleh saja dalam rangka memahami Ilmu agama.
_____
Namun perlu dipahami bahwa, apa yang dilakukan Abu Bakar, Utsman atau nama-nama Alim Ulama yang disebutkan diatas, bukanlah dalil pembenaran bagi kaum muslimin (belakangan) yang membuat metode baru dalam rangka beragama, karena mereka Khalifah dan 3 generasi awal terbaik dalam Islam dibenarkan oleh dalil, sedangkan mereka yang diluar itu tidak divalidasi oleh dalil.
Namun perlu dipahami bahwa, apa yang dipahami sebagian kaum muslimin sebagai ilmu agama, tentang ilmu yang datang dari Nabi shallallahu alaihi wasallam ternyata bukan, ternyata keliru, semisal disini : ilmu tajwid, ilmu tahsin (atau termasuk diantaranya misal : ushul fiqh, ilmu sirah, bahasa Arab, lughah, nahwu, shorof dan lainnya) yang mana ilmu-ilmu ini baru lahir jauh setelah Nabi shallallahu alaihi wasalam wafat, yang demikian ini bukanlah ilmu agama, melainkan ilmu dunia atau ilmu alat untuk memahami agama.
Ilmu-ilmu yang disebutkan sebelumnya diatas, tidak ada bedanya sebagaimana dengan belajar ilmu bahasa Indonesia, belajar matematika, belajar sejarah dan semisalnya, yang mana ini adalah ilmu dunia, bukan ilmu agama, yang mungkin silahkan saja apabila kemudian dipakai, dipergunakan atau diaplikasikan sebagai alat untuk mempermudah kaum muslimin dalam rangka mempelajari dan memahami ilmu agama.
Pelajarilah apa itu agama, sehingga dirimu tau, apa itu ilmu agama dan apa yang bukan ilmu agama. Agar dirimu tau, mana itu majelis ilmu (akhirat) dan mana itu majelis ilmu (dunia).
..Wallahu a’lam..
Jangan takut ketika kamu dibenci karena menggenggam kebenaran (tauhid), karena kamu menyampaikan kebenaran (tauhid), jangan takut ketika kamu dijauhi, dikucilkan, dimusuhi, difitnah, dituduh pembohong, pendusta, bahkan tukang sihir ketika menyampaikan kebenaran (tauhid).
Jangan takut hanya karena orang-orang berkata kamu jahat, namun takutlah jika kamu benar-benar melakukannya. Jangan takut hanya karena orang-orang berkata kamu pendusta, namun takutlah jika kamu benar-benar berdusta. Jangan takut hanya karena kamu difitnah orang lain, namun takutlah jika kamu benar-benar penyebar fitnah kepada orang lain.
Jangan senang ketika orang-orang mengatakan kamu baik, namun berbahagialah jika kamu benar-benar melakukannya dengan tulus. Jangan senang ketika orang-orang memujimu karena kamu dianggap shalih, namun berbahagialah jika kamu benar-benar ikhlas dalam mengerjakan amal shalih.
Jangan senang ketika orang-orang memujimu karana kamu dianggap orang alim, namun berbahagialah jika kamu benar menyampaikan kebenaran, yaitu ilmu yang datangnya dari Allah Azza wa Jalla, melalui RasulNya shallalahu alaihi wasallam, bukan karena berharap pujian atau wajah para manusia, melainkan berharap wajah Allah saja.
*************************
Ada seorang teman yang jujur, yang mengingatkan, yang memberi nasihat, namun dia dibenci, padahal yang disampaikannya adalah wujud lain dari kepedulian, kebaikan dan rasa cinta.
Ada seorang yang pura-pura baik, pura-pura polos yang bermuka dua, manis didepan pahit dibelakang, dia berjanji bisa memegang amanah, dia dianggap bisa dipercaya, tetapi sejatinya pengkhianat, pengadu domba, namun dengan topeng yang dikenakannya dia dicintai, padahal yang dilakukannya adalah wujud lain dari kebencian dan kemunafikan.
Ada beberapa alim yang lurus, mendakwahkan ilmu yang datang dari Allah, dia mengingatkan, dia tegas terhadap tauhid, dia keras terhadap syirik dan bid’ah, namun dia dibenci, dijauhi, dikucilkan, dimusuhi, dijelek-jelekkan, dituduh pembohong, pendusta, tukang sihir, difitnah dan lainnya.
Ada beberapa dai yang menyimpang, jauh dari dakwah tauhid, aqidahnya bermasalah, manhajnya bermasalah, dia sibuk bahas protes kebijakan pemerintah; sibuk perihal muamalah; mengakali riba dan rizwah agar kelihatan halal sesuai syariah; jual kelas bisnis saudagar Islam; jual kajian-kajian berbayar; jual air berkah; jual nasab keturunan; jual paket tiket tour dan travel; jual biro jodoh; jual konsultasi pacaran islami; jual konsultasi rumah tangga, jual fatwa hasil pemahaman sendiri bukan pemahaman sahabat, jual merchandise; namun anehnya dia dicintai, dipercaya, dianggap ulama, difollow jutaan orang. Beberapa diantara mereka menyebarkan fitnah dalam agama, namun dianggap tokoh-tokoh yang amanah.
”Beberapa kayu menyangka dirinya berjasa karena merasa sedang menghangatkan orang lain, padahal sejatinya mereka sedang membakar habis diri-diri mereka sendiri dalam kebinasaan.”
*************************
Jangan takut dengan tuduhan, takutlah jika kamu benar-benar melakukannya. Jangan sedih dengan celaan, kebencian dan fitnah, takutlah jika kamu adalah pelakunya.
Jangan senang jika orang berkata kamu baik, berbahagialah jika kamu benar-benar tulus melakukannya. Jangan senang jika orang berkata kamu alim, berbahagialah jika kamu benar-benar berilmu dan tegak lurus terhadap ilmu yang senantiasa karena berharap wajah Allah saja.
Karena, kelak yang akan kamu bawa dan ditimbang di akhirat bukanlah suara manusia, bukan sanjungan atau pujian dari mulut-mulut manusia, bukan jumlah teman atau followermu, melainkan amalmu sendiri. Biarlah dunia salah paham, asalkan kamu tidak gagal paham, asalkan kamu sudah berusaha memahamkan dengan cara yang lurus dan hati yang tulus, yang karena mengharap wajah Allah saja.
Karena, ketahuilah bahwa manusia sangat bisa salah dalam berprasangka kepadamu, namun sesungguhnya Allah tidak akan pernah salah dalam menimbang dan menilai niat baik, perkataan serta amalanmu.
Karena, kita sesungguhnya tidak perlu takut akan kebencian dari manusia yang mana itu tidak apa-apa, namun takutlah jika Allah membenci apa sesungguhnya yang ada dihatimu, perkataanmu, dan perilakumu.
..Wallahu a’lam..
Sampaikan, sebagaimana (dakwah) ini yang dilakukan Para Nabi dan Para Rasul. Menyampaikan kebenaran walaupun kamu tau akan dibenci, dijauhi, dimusuhi, dijelek-jelekkan, difitnah, dituduh pembohong, pendusta, tukang sihir dan yang lainnya.
Sampaikan, ilmu (tentang agama), yaitu ilmu yang datang dan bersumber dari Allah, ilmu dari Tuhan-mu, bahwa tiada Tuhan selain Allah (saja), bahwa tiada sesembahan selain Allah (saja), bahwa tiada yang berhak diibadahi selain Allah (saja), yang mana dengan tata cara peribadahan sesuai ketentuan-Nya (saja). Ilmu mengenal siapa Tuhan-mu, siapa itu Allah, mengenali nama-namaNya dan juga sifat-sifatNya, tidak menduakan-Nya, tidak syirik kepada-Nya, tidak mementingkan sesuatu apapun diatas-Nya. Ilmu yang menjadikan manusia memahami bahwa hidup tidaklah memiliki tujuan apapun, kecuali untuk mengibadahi Tuhan-nya, yaitu Allah (saja).
Sampaikan, bahwa Allah dzat yang Maha Besar dan Maha Mulia, yang mana jauh lebih besar dan lebih penting dari istrinya sendiri, dari anak-anaknya, dari jabatannya, dari pekerjaannya, dari kesibukan dunianya, dari hartanya, dari tabungannya, dari mobilnya, dari rumahnya, dari teman atau kerabatnya, dari orang tua kandungnya, bahkan dari dirinya sendiri.
Sampaikan hal ini, sampaikan ilmu agama, ilmu tentang Allah, niscaya kamu pasti akan dianggap “keras”, dianggap “otoriter”, “frontal”, “ekstrim”, dibenci, dijauhi, dimusuhi, difitnah, dituduh pendusta, tukang sihir dan lainnya.
Padahal kebenaran yang disampaikan, ilmu Allah yang disampaikan, dakwah yang benar disampaikan, karena didasari kepedulian, dengan dasar kelembutan hati, rasa kasih sayang, dengan kecintaan dan ketulusan menyelamatkan sesama dari bahaya kekufuran dan kesesatan.
_____
Sebaliknya, coba sampaikanlah “kebohongan” (ilmu yang bukan datang dari Allah), sampaikan tentang gelarmu, latar pendidikanmu, status sosialmu, jumlah followermu, kemudian sampaikan muamalah riba atau rizwah yang bisa diakali seakan sesuai syar’i, sampaikan tentang pacaran islami, sampaikan tentang solusi permasalahan rumah tangga, sampaikan bahwa nafsu seorang laki-laki ada solusinya yaitu nikah 2,3,4 itu termasuk sunnah, fasiltas tour dan travel umrah VIP, sampaikan itu dengan “berpenampilan” Arab dan dengan menenteng-nenteng kitab berbahasa Arab, sampaikan cerita dongeng tentang nasabmu, cerita-cerita dongeng zaman dahulu, sampaikan tentang sopan santun, sabar dan pasrah dengan “soft spoken” nada rendah, sampaikan itu tentunya jangan lupa dengan melampirkan data dan fakta kebenaran, niscaya seseorang akan dicintai, majelisnya akan dibanjiri, media sosialnya akan ramai diikuti.
Padahal yang demikian itu sama sekali bukanlah kebenaran, bukan dakwah yang benar, ini bukan sedang menyampaikan ilmu tentang Allah, bukan sedang menyampaikan ilmu tentang agama Allah, yang dimana agar menyelamatkan umat dari bahaya syirik dan dosa besar.
*************************
Didapati fakta, bahwa betapa banyak yang bahkan sampai pada hari ini tidak tau ilmu agama, tidak paham ilmu agama (yaitu : kabar dan pengetahuan yang datang dari Allah).
Didapati fakta, bahwa betapa banyak yang bahkan sampai pada hari ini tidak tau, mereka mengira itu ilmu agama, padahal bukan, padahal itu ilmu dunia (ilmu alat).
Semisal, Ilmu nahwu, sorof, mantiq, bayan, kalam, tasawuf, filsafat Islam, tahsin, tahfidz, tafsir, penderajatan Hadits, fiqhul waqi’, fiqh muamalah, gramatika, bahasa, hingga sejarah tokoh, dianggap sebagian besar dari Kaum Muslimin sebagai ilmu agama, padahal BUKAN.
Padahal ilmu demikian bukanlah datang dari Allah (perantara Rasul-Nya), padahal ilmu ini tidak pernah diajarkan, bahkan tidak pernah dikenali oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam itu sendiri, padahal yang demikian ini bukanlah ilmu agama melainkan ilmu dunia (ilmu alat), Padahal ilmu tertua yang kemudian dianggap ilmu agama yaitu itu “ushul fiqh” baru lahir ratusan tahun setelah Nabi shallallahu alaihi wasallam wafat.
Padahal ilmu agama adalah ilmu yang datang dari Allah, ilmu untuk mengenal Allah, ilmu untuk memahami tentang Allah, ilmu untuk mengetahui satu-satunya sesembahan hanyalah Allah, untuk mengetahui satu-satunya tata cara penyembahan kepada Allah yang benar, agar menjadi hamba yang bertaqwa yaitu beriman (tidak syirik) dan beramal shalih (tidak bid’ah / tidak syubhat), tau perkara haq dan bathil, tau hal benar dan salah, halal dan haram (dengan bantuan ilmu-ilmu alat).
Didapati fakta, kini sebagian besar dari kita sibuk dengan ilmu-ilmu dunia (yaitu : ilmu alat), sejarah, bahasa, muamalah dan lainnya, namun mirisnya sebagian besar dari kita tidak memahami ilmu agama, tidak mengajar dan belajar perkara tauhid, tidak bertauhid, tidak beriman sebagai landasan, kita belum mengenal Allah, tidak memahami Allah, baik itu nama-nama maupun sifat-sifatNya.
_____
Padahal ilmu agama adalah perkara tauhid, perkara manhaj, yaitu mempelajari dan memahami pemahaman beragamanya Nabi shallallahu alaihi wasallam dan Para Sahabat, mempelajari dan memahami bagaimana tentang agama Allah, padahal ilmu agama adalah tentang keimanan, tentang tawadhu (kerendahan diri yang tumbuh setelah mengenal Allah), tawakal (kesabaran diri yang tumbuh setelah mengenal Allah), tentang ikhlas, wara’, alias perkara akhlak, baik dan benarnya hati, ucapan, serta perbuatan baik dihadapan Tuhannya (Allah) atau dihadapan sesama makhluk (manusia).
Didapati fakta, betapa banyak yang seakan membahas agama, dengan rujukan kitab berbahasa arab, dengan pakaian dan penampilan arab, tetapi sejatinya bukan sedang membahas ilmu agama.
Didapati fakta, bahwa ilmu dunia (dengan kepentingan dunia), yang dibungkus istilah agama, hanya sekadar dikhotbahkan, diceramahkan, diucapkan, tanpa diimbangi dengan ketauladanan (dicontohkan).
Didapati fakta, bahwa “ilmu agama” yang disampaikan maksimal hanyalah cerita. Sebagian dari mereka menyampaikan kesabaran namun diatas mobil mewah, mereka menyampaikan solusi kesetiaan namun beristri 4 (+kawin cerai), mereka menyampaikan bid’ah tetapi mereka sendiri adalah pemikir dan pelaku dari perbuatan rangka agama yang tidak pernah dituntunkan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam, mereka gencar menyampaikan muamalah tetapi mereka sendiri pelaku rizwah, mereka menyampaikan perihal ibadah taunya sekadar jubah, mereka lebih banyak berfatwa yang berasal dari dalam pikirannya dibandingkan menyampaikan firman Allah atau sabda Rasul dengan pemahaman sahabat, mereka bicara seakan diatas ilmu agama padahal ilmu dunia, mereka berbicara bukanlah dakwah dengan niat kepentingan akhirat, melainkan karena motif kepentingan dunia.
Didapati fakta, bahwa negara Indonesia adalah negara terbesar (ke-dua) dengan mayoritas Kaum Muslimin, negara terbanyak dengan 800.000-an masjid yang diisi kajian-kajian rutin agama oleh para ustadz, negara dengan 40.000-an pondok pesantren, negara dengan 30.000-an penghafal Al Quran. Namun ironisnya termasuk negara Islam dengan kasus korupsi yang besar, negara pelaku judi online terbesar, pelaku muamalah riba terbesar, negara dengan jual beli dan impor miras terbesar, negara dengan sekolah agama dengan kasus LGBT yang besar, negara dengan kaum miskin yang terbesar, dan justru sebaliknya negara dengan angka sedekah terkecil. Padahal, jika ilmu agama benar-benar diajarkan dan dipahamkan, angka-angka pada fakta-fakta diatas sejatinya tetap akan ada tetapi tidak sebesar itu
Ini karena sebagian besar dari mereka yang mendakwakan dan mengajarkan dengan membawa nama agama (ilmu agama), padahal itu bukanlah ilmu agama, padahal itu ilmu dunia, yang disampaikannya adalah perkara dunia, dengan berbagai kepentingan-kepentingan dunia.
*************************
Jika pada hari ini, ada yang menyampaikan kebenaran, kita tidak perlu lagi kaget ataupun bingung, ketika yang demikian malah dibenci, ditinggalkan, dimusuhi, difitnah, dituduh tukang sihir, “keras”, “ekstrim”, arogan, intoleran, dan lainnya.
Jika ada asatidz, para ustadz, para dai, mubaligh, para ahli ilmu, para alim ulama, yang pada hari ini masih mendakwahkan ilmu agama, ilmu tentang Allah, mendakwahkan tauhid yang sama sebagaimana ini yang dipahami Nabi shallallahu alaihi wasallam dan Para Sahabat, yang sama sebagaimana hati, ucapan dan ketauladannya, maka bersyukurlah, ambillah agama ini dari orang-orang seperti mereka.
Jika ada asatidz, para ustadz, para dai, mubaligh, para ahli ilmu, para alim ulama, yang ternyata malah sibuk membahas ilmu dunia, sibuk dengan kepentingan dunia dibalut sorban agama, sebagaimana bukan ini dakwah yang dipahami Nabi shallallahu alaihi wasallam dan Para Sahabat, berbeda antara khotbah-ceramah dan ketauladannya, maka berlarilah, karena mungkin mereka termasuk yang cuma menjual agama kepadamu, mengambil untung darimu, demi dunia.
..Wallahu a’lam..